Seandainya infrastruktur perpustakaan memperoleh perlakuan yang sama dengan infrastruktur jalan maka saya yakin 1000 persen rakyat akan datang berbondong-bondong masuk gedung perpustakaan yang representatif yang tersedia di setiap desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Sehingga impian Taufik Ismail dalam puisi “Kupu-kupu Dalam Buku” bisa terwujud.” Di mana-mana buku di baca” adalah impian beliau. Untuk mewujudkannya tentu diperlukan “di mana-mana ada perpustakaan”.
Keberadaan perpustakaan di mana-mana ini adalah syarat utama untuk menghadirkan budaya teknologi dan inovasi di negeri tercinta ini. Budaya teknologi tak mungkin hadir tanpa didahului dengan budaya membaca. Budaya inovasi tak mungkin datang dengan salam permisi masuk ke pintu negeri ini jika di dalamnya tak ada budaya membaca. Penelitian dan riset tak mungkin ada jika tidak didahului dengan kebiasaan membaca para peneliti dan para periset. Jika ada, maka yang ada adalah penelitian tidak tepat guna, penelitian untuk meraih angka kredit, atau penelitian untuk bergaya saja.
Membudayakan teknologi tanpa membudayakan membaca hanya akan melahirkan budaya mabuk teknologi. Budaya baru yang saat ini melanda negeri kita. Naisbitt (1999) dalam Yasraf Amir Piliang (2013) menjelaskan enam gejala mabuk teknologi yang menjerat manusia masa kini, yaitu merayakan kecepatan dan kesegeraan (tujuh langkah menjadi miliyuner, dua hari menjadi penulis, dan seterusnya.), memuja teknologi (penyembuhan, keamanan, iman), mengaburkan yang nyata dan tiruan (virtual, cyber, artifisial), menganggap kekerasan sebagai biasa (film, perang, game), mencintai teknologi sebagai mainan (high-tech toy, internet adult game),dan terbiasa dalam ketercerabutan dari realitas (virtual community, telepresence).
Demam game mobile Pokemon Go yang baru sebulan dirilis merupakan peristiwa mabuk teknologi yang melanda segala umur. Para pemabuk game ini rela pergi ke kuburan pada malam hari hanya untuk memburu pokemon hantu. Petugas parkir di kampus pun dibuat heran dengan tingkah laku mahasiswa yang tiba-tiba menghentikan kendaraan gara-gara sang mahasiswa merasakan radar pokemon di smartphonenya bergetar. Alangkah lucunya negeri ini dan juga dunia ini.
Selain mabuk teknologi ada juga musibah teknologi yang banyak terjadi di negeri ini. Ada yang jatuh ke kawah gunung merapi karena selfie.Ada pula yang jatuh ke jurang gara-gara asyik selfie. Ada lagi yang terseret ombak laut karena asyik selfie. Musibah lain yang bikin hati sedih banyak anak gadis kita yang tertipu luar dalam oleh teman media social.
Perpustakaan sebagai basis untuk menumbuhkan budaya teknologi bukanlah mimpi di siang bolong. Baitul Hikmah merupakan perpustakaan terbesar yang pernah dimiliki dunia. Dibangun di Baghdad oleh Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 815 M yang kemudian diteruskan oleh puteranya Al- Makmun. Perpustakaan ini tidak hanya mengoleksi buku, tapi juga berfungsi sebagai sekolah teknologi dan inovasi berskala internasional yang bertujuan untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jauhar Ridloni Marzuk (2012) menuliskan bahwa Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani) dan dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya dikembangkan oleh para cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, fisika bahkan juga metafisika. Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan dan dan kemudian ditulis ulang.
Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti; Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun sebagian ulama yang belajar di Baitul Hikmah. Merekalah yang berpengaruh besar terhadap perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya, bukan hanya untuk Islam tapi juga untuk umat manusia sedunia.
Di tanah air, Presiden Soekarno, seorang Insinyur Arsitek lulusan Technische Hoogeschool (sekarang menjadi ITB) pernah membuat program “perpustakaan ada di mana-mana”. . Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada kurun waktu 1950 – 1960, Presiden Soekarno mulai memperhatikan dunia perpustakaan. Untuk keperluan rakyat, didirikan tiga jenis perpustakaan umum yang lebih dikenal dengan nama Taman Pustaka Rakyat (TPR). Pembangunan TPR disesuaikan dengan tingkat pemerintahan.
Di setiap desa didirikan Taman Pustaka Rakyat C dengan komposisi koleksi 40 % bacaan untuk siswa setingkat SD dan 60 % untuk siswa setingkat SMP. Untuk tingkat kabupaten, pemerintah membangun Taman Pustaka Rakyat B dengan komposisi koleksi 40 % untuk buku bacaan setingkat SMP dan 60 % untuk bacaan setara siswa SMA. Di ibukota provinsi dibangun Taman Pustaka Rakyat A. Ketika itu, pembangunan TPR sebagai perpustakaan umum berjalan dengan cepat. Semua koleksi dan gaji pegawai TPR ditanggung oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan).
Sukarno sangat sadar bahwa untuk membangun budaya teknologi diperlukan membaca. Membaca adalah aktivitas merdeka untuk merengkuh energi ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Presiden Jokowi diharapkan bisa meniru langkah Presiden Sukarno ini dalam membangun budaya ilmu pengetahuan,, teknologi dan inovasi di tanah air dengan cara memfungsikan perpustakaan sebagai laboratorium ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi bangsa.