Bupati Klaten, Sunarna, mengancam akan melaporkan balik mantan Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Klaten, Sofan. Kegeraman orang nomor satu di Klaten itu memuncak saat mengetahui namanya diseret dalam kasus makelar jabatan di lingkungan Pemkab Klaten. Sunarna juga membantah menerima uang dari Sofan yang diberikan melalui terdakwa kasus makelar jabatan, Agus Krisbiyantoro alias Agus Kethoprak. “Nanti [Sofan] akan saya laporkan balik karena yang mengatakan adalah Sofan di persidangan,” tegasnya kepada wartawan di Klaten (http://www.solopos.com/2013/12/13/makelar-jabatan-pemkab-klaten-dituding-terlibat-jual-beli-jabatan-bupati-geram-474152)
Agus Ketoprak alias Agus Krisbiantoro, orang yang disebut-sebut menjadi makelar jabatan bagi PNS di lingkungan Pemkab Klaten, akhirnya membuat pengakuan mengejutkan.
Dia mengakui sejak tahun 2007, sudah ada 57 orang yang naik jabatan dengan menyerahkan ''Sampai sekarang ada 57 orang. Orang pasti heran, kenapa saya yang cuma sutradara ketoprak kok bisa, berarti pejabatnya yang bodoh. Saya di rumah, mereka datang kasih duit, mosok nggak mau. Saya yakin tak hanya saya, tapi banyak pejabat yang melakukan hal yang sama,'' kata Agus kepada wartawan(Suara Merdeka, 23 September 2013)
Fenomena makelar jabatan dalam birokrasi memiliki sejarah yang cukup panjang. Selalu berulang pada setiap zaman. Pada masa kolonial Belanda hal ini dilestarikan oleh pemerintah kolonial dalam rangka menguatkan cengkraman penjajahan di negeri tercinta ini. Sudah menjadi rahasia umum pada saat itu bahwa pejabat birokrasi merupakan kaki tangan penjajah untuk menghisap kekayaan bumi pertiwi.
Dalam buku Api Sejarah (2009), Ahmad Mansur Suryanegara menuturkan bahwa demi menciptakan sistem kebergantungan kalangan Pangreh Pradja terhadap oknum pemiliki dana maka diciptakan sistem pengangkatan dari kepala desa hingga bupati disyaratkan memiliki sejumlah uang. Dapat dikatakan dengan istilah lain sebagai pendanaan illegal kepala daerah atau “pilkada” zaman kolonial. Disebut sebagai dana illegal karena tidak ada landasan Surat Perintah Gubernur Jenderal.
Prof. Dr. D.H Burger dan Prof.Dr.Mr. Prajudi dalam Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia menuturkan bahwa untuk seorang calon lurah harus memiliki uang sejumlah 700 – 1000 gulden. Uang tersebut sejumlah 200 gulden dipersembahkan kepada bupati, untuk wedana 100 gulden dan juru tulis Controleur 25 gulden. Sisanya digunakan untuk “menyejahterakan” eselon lainnya yang terkait dalam struktur kepangrehprajaan.
Bagaimana cara pengembaliannya ? Seorang taokeh (penyandang dana) ternyata dapat mendanai tiga atau empat lurah. Demikian pula seorangtaokeh dapat mensponsori dana illegal untuk bupati. Adapun sistem pengembalian atau pembayaran hutangnya, para takoeh bertindak sebagai raja kecil di desa atau kabupaten yang dikasih dana. Rakyat harus bekerja untuk kepentingan taokeh. Kelaparan dan wabah penyakit tak terhindarkan. Lurah hingga bupati tidak berdaya membela rakyat dan tidakberani melawan penindasan taokeh.
Fenomenamakelar jabatan sesungguhnya merupakan salah satu indikasi bahwa bangsa kita sedang menderita sakit mental yang cukup parah. Yakni mental mempertuhankan jabatan.
Manusia yang mempertuhankan jabatan memiliki ciri, pertama, mau jabatan tapi tidak mau menjalankan tugas dan pekerjaan yang ada. Tipologi manusia ini hanya suka menuntut hak saja.Hanya mengalirkan pekerjaan dari atas ke bawah tanpa arahan yang jelas dan lugas. Hal inilah yang sering menjadi biang kerok buruknya kinerja birokrasi. Suatu pekerjaan yang seharusnya menjadi proporsi tugas pimpinan hanya dikerjakan oleh staf saja. Perencanaan, analisa beban kerja, dan evaluasi kerja tentu bukan menjadi pekerjaan staf melainkan pekerjaan unsur pimpinan atau pejabat.
Kedua, selalu berpikir dikotomis tentang “lahan basah dan lahan kering”. Karena jabatan yang diperoleh merupakan hasil kerjasama dengan makelar jabatan, tentu menghabiskan biaya yang tak sedikit. Pejabat seperti ini akan menghalalkan segala cara untukmengembalikan modal yang sudah diserahkan kepada makelarjabatan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan jurus pamungkas yang akan dikerahkan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Ketika dia bekerja di instansi lahan basah, semanangat kerja untuk menunaikan jabatan juga turut “basah”. Namun ketika bekerja di instansi lahan kering, gairah kerja yang dimiliki turut menjadi “kering”. Menjadi manusia pasif dalam menjalankan amanah negara.
Ketiga, selalu tergesa-gesa untuk menduduki jabatan baru. Tanpa melihat kemampuan, dan kapasitas diri dalam mengemban jabatan baru. Menggunakan kacamata kuda dalam memahami arti sebuah jabatan. Selalu melihat keuntungan yang akan diperoleh dengan menduduki jabatan baru sekaligus lupa dengan beban berat tanggung jawab yang harus dipikul. Bagi manusia ini, jabatan bukanlah amanah dari negara dan rakyat. Persepsi dirinya tentang jabatan adalah sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Keempat, berdedikasi rendah. Padahal jabatan merupakan sarana untuk mengangsur hutang janji kemerdekaan kepada rakyat. Untuk mengangsur hutang kemerdekaan,dibutuhkan pejabat yang memiliki tipe climbers. Tipe ini merupakan manusia yang selalu ingin mendaki untuk mencapai puncak, mengerahkan segenap potensi diri untuk memberikan yang terbaik bagi negara dan rakyat.Berani mengambil resiko dalam bekerja. Tidak terjebak dalam pola kerja yang bersifat statis dan monoton.
Jika jabatan dianggap sarana untuk mengangsur hutang kemerdekaaan, maka dengan sendirinya makelar jabatan akan hilang dari muka bumi. Jika sebaliknya, makelar jabatan akan terus tumbuh dan berkembang dengan berbagai rupa dan wajah baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H