Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang dianugerahkan Tuhan di dalam keberagaman/kemajemukan (plural). Keberagaman bangsa ini dapat dilihat dari beragam suku, bahasa, dan keyakinan. Perjalanan bangsa ini (dalam kemajemukan) hendak mencapai 74 tahun, yang membuktikan dapat hidup bersama dalam kemajemukan.Â
Walaupun kita tidak dapat mengabsenkan adanya "gesekan-gesekan/konflik/benturan-benturan/gejolak-gejolak" vertikal. Â Agus Suwignyo (xix: 2019) menjelaskan bahwa semua hal ini dikarenakan "kebutuhan akan pengakuan atas identitas kultural kolektif."Â
Ketika kebutuhan akan pengakuan ini muncul, maka bahayanya adalah terjebak ke dalam eksklusif kelompok/golongan tertentu. Untuk itu perlu adanya "kesadaran" tentang pluralitas. Kesadaran ini dapat bergerak ke arah "positif" dengan kemampuan memahami dan menerima aneka rupa perbedaan dalam kehidupan bersama, atau ke arah negatif dengan keinginan dan upaya untuk meniadakan perbedaan (anti-pluralisme).Â
Lebih lanjut Paul F. Knitter dalam sebuah bukunya yang berisi tentang pemetaan baru terhadap pendekatan-pendekatan di dalam diskurus keberagaman/pluralitas, antara lain:
1. Model Pengantian.Â
Model ini menganggap bahwa hanya ada satu golongan/kelompok tertentu yang memiliki kebenaran mutlak. Model ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu:Â
- Pengantian Total
- Pengantian Parsial
2. Model PemenuhanÂ
Model ini menganggap bahwa kebenaran bersifat relatif (parsial). Dimana kebenaran yang satu menyempurnakan kebenaran yang lainnya.
3. Model Mutualitas
Model ini menyatakan tentang seluruh golongan/kelompok yang ada, berada pada posisi atau fondasi yang sama, minimal dalam beberapa hal, yang mana memungkinkan mereka untuk berdialog secara mutual.
4. Model PenerimaanÂ
Model ini menyatakan tentang kemampuan memahami dan menerima aneka rupa perbedaan dalam kehidupan bersama.Â
Agus Suwignyo (editor) dalam bukunya Post-Truth dan (Anti) Pluralisme (xxx:2019) menjelaskan tentang permasalahan diskurus keberagaman antara lain: Â
- Pertama, akar-akar sikap antipluralisme yang mendorong pengerasan ideologis dan ekslusivitas pasca "berakhirnya sejarah".
- Kedua, perkembangan teknologi informasi beserta dampaknya dan bagaimana menempatkannya secara cerdas dalam lingkup masyarakat yang plural dan beragam.
- Ketiga, aspek-aspek struktural maupun nonstruktural kelembagaan yang mendukung berkembangnya sikap bineka dan mengikis pandangan dan sikap antipluralisme.
- Keempat, pemikiran dan refleksi tentang akar-akar kekuatan masyarakat dalam mengembangkan sikap bineka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H