Bertemu dengan kakak-kakak tingkat yang sedang menempuh tugas akhir skripsi Senin, 9/4 di sebuah tempat nongkrong favorit mahasiswa etnomusikologi. Galabo ini menjadi favorit karena letaknya yang dekat dengan jurusan dan tentunya full wifi.
Membahas banyak objek, utamanya sih tentang perkuliahan. Tentang skripsi, kampus, dan bahkan kompetensi kami sebagai Mahasiswa Etnomusikologi. Bahasan itu pun terasa lebih hangat tatkala seorang dosen mampir untuk meramaikan diskusi kecil ini.
Skripsi hingga kini masih menjadi tugas akhir favorit teman-teman etno(sebutan jurusan) untuk lulus. Meskipun jurusan memberikan pilihan tugas akhir berupa karya dalam bentuk audio atau audio visual. Menjadi favorit karena skripsi dirasa lebih murah secara ekonomi baik uang, waktu ataupun tenaga. Ditambah menulis adalah kompetensi utama yang diajarkan kepada kami.
Saya teringat bagaimana kami dulu harus menjalani tes penerimaan Mahasiswa Etnomusikologi (2014) jalur mandiri. Mungkin agak kaget ketika itu, pasalnya saya yang merupakan lulusan STM Otomotif harus melewati dua tahap yang "asing" bagi saya. Tahap pertama adalah tes tertulis bermateri musik-musik nusantara, dan kedua adalah tes praktek memainkan alat musik barat dan gamelan termasuk wawancara.
Pandangan saya ketika itu tes praktek musik menjadi hal yang relevan untuk diujikan, karena ini fakultas seni pertunjukan jurusannya musik. Tetapi dalam tes tertulis, kami diminta memilih satu gambar alat musik yang terpampang, kemudian mengarang indah berdasarkan gambar yang kami pilih. Dalam benak saya ketika itu, "koq tesnya gak mutu ya, apasih hubungannya mengarang indah dengan alat-alat musik?" karena seolah merupakan duasisi yang bertolak belakang.
Menginjak di semester 6, saya dipaksa menarik penilaian awal. Kenyataannya menulis adalah senjata utama kami menjelaskan musik. Menjelaskan bagaimana musik dilihat bukan hanya sebagai hiburan, melainkan sebagai sebuah hasil dari kebudayaan dan terkait dengan elemen-elemen semisal mitos, ekonumi, psikologi, dll. Maka tidak heran jika hasil tulisan-tulisan skripsi kami memiliki standar tinggi dibanding jurusan-jurusan lain dalam satu falkutas.
Syarat menulis adalah membaca, "bukan penulis yang baik ketika ia bukanlah pembaca yang baik." Kalimat ini nampaknya akan selalu terngiang dipikaran saya selama menempuh studi di Institut Seni Indonesia. "Saya mendengarnya pertama kali pas Makrab Jurusan." Ketika itu yang memberikan materi adalah Pak Aris Setiawan yang merupakan dosen etno, dan seorang esaiis yang tulisannya sering dimuat di solopos.
Beliau bukan satunya-satunya alumni etnomusikologi yang terjun dalam dunia kepenulisan. Masih ada Pak Aton Rustandri Mulyana yang juga dosen sekaligus peneliti musik-musik etnis nusantara, serta Pak Joko Gombloh yang merupakan kritikus musik sekaligus pemain bass grup Sonosen Ensemble. Dari beliau-beliau inilah saya harus selalu menerima saran untuk selalu membaca apapun ketika mereka mengajar.
TerasaAsing
"Kowe kuliah neng etno meh dadi opo?." Kalimat Tanya ini selalu terlontar sebagai guyonan sebagai bentuk respon atas keabu-abuan disiplin ilmu yang kami pelajari. Kami mendapat segelontoran kompetensi dari yang juga diajarkan dijurusan lain semisal Televisi dan Film atau di Karawitan. Hingga akhirnya banyak dari teman-teman merasa bingung atas kompentesi yang harus mereka kuasai secara pro.
Menjadi beban berlebih karena disiplin ini belum begitu dikenal secara umum. Hanya beberapa kalangan semisal akademisi dalam kampus seni, seniman, serta orang-orang pengakaji kebudayaan yang mengenalnya. Hal ini berimbas pada tidak satupun lowongan pekerjaan khususnya di soloraya menuliskan kata S-1 Etnomusikologi sebagai kriteria pelamar.