Pasca amandemen ke-IV UUD 1945, terjadi pergeseran yang mencolok mengenai kewenangan MPR. Secara umum, disimpulkan MPR berada pada posisi yang terbatas dalam hal fungsi dan kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara. Padahal berdasarkan prinsip demokrasi, kedaulatan rakyat seharusnya berada pada suatu lembaga perwakilan permusyawaratan. Apalagi jika dikaitkan dengan Sila Keempat Pancasila sebagai dasar negara, yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, maka MPR adalah perwujudan penting dari unsur demokrasi tersebut. GBHN menjadi salah satu instrumen dalam memberikan penguatan terhadap kapasitas MPR. Mengutip artikel Yudi Latif (Kompas, 12/2/2016) tentang “Basis Sosial GBHN”, dengan menggunakan teori demokrasi Arend Lijphart (1999) yang membedakan dua model pola demokrasi yakni: majoritarian democracy (demokrasi yang mengutamakan suara mayoritas) dan consencus democracy (demokrasi yang lebih mengutamakan konsensus). Latif menyimpulkan bahwa kebijakan dasar pembangunan seharusnya tidak diserahkan kepada presiden sebagai ekspresi kekuatan mayoritas (majoritarian). Oleh karena itu dibutuhkan GBHN yang dibentuk oleh MPR sebagai wujud konsensus representasi seluruh kekuatan politik rakyat.
Secara kelembagaan, gagasan mengembalikan GBHN tidak harus disamakan dengan GBHN di masa lalu (Orde Lama dan Orde Baru). Meski demikian, konsep dan mekanismenya dapat diterjemahkan kembali atau dikontekstualisasikan dengan perkembangan masyarakat saat ini. Sasaran utamanya tentu saja adalah dalam rangka penguatan demokrasi konsensus. Perlu diberikan ruang bagi penguatan kapasitas politik MPR lewat GBHN yang dibentuk dan dipertanggungjawabkan kepada MPR. Sehingga kekuasaan dapat kembali dipencarkan dan tidak terpusat pada kekuasaan presiden (dan bahkan DPR) sebagai kekuatan politik mayoritas hasil pemilu.
GBHN dan Optimisme Demokratisasi
Berkaitan dengan fungsinya, GBHN dapat membawa dampak positif bagi pembangunan Indonesia secara nasional. Dengan adanya GBHN akan tercipta suatu sistem perencanaan yang terpadu antar lembaga-lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun antar pemerintah pusat dan daerah yang selama ini cenderung berjalan sendiri-sendiri akibat kaburnya regulasi tentang penyelarasan agenda pembangunan. Atas nama demokrasi, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam pengagendaan GBHN sebagai haluan pembangunan negara.
Pertama,proses penyusunan dan pelaksanaan GBHN harus diproses dengan memadukan prinsip perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up planning) dan pelaksanaan dari atas ke bawah (top-down implementing). Unsur positif yang telah dikembangkan hingga saat ini, harus dipertahankan jika ingin menerapkan kembali GBHN. Dengan memadukan prinsip bottom-up planningdan top-down implementing, berarti memaksimalkan unsur masyarakat dalam sebuah perencanaan pembangunan dan memaksimalkan peran GBHN dalam keterpaduan serta keberlanjutan pelaksanaan pembangunan jangka panjang melalui pembangunan jangka menengah dan jangka pendek di pusat dan daerah. Mekanisme-mekanisme yang memanfaatkan forum-forum musyawarah pembangunan dari desa hingga tingkat nasional mesti terus dioperasionalisasikan agar proses penyusunan GBHN menjadi lebih partisipatif.
Kedua,perlunya meluaskan unsur-unsur keanggotaan perwakilan dalam MPR. Konsep representasi alternatif dari Pitkin (1967) yang meluaskan konsep demokrasi dari prosedural formal menjadi lebih didasarkan pada demokrasi popular atau subtantif, maka sangat dimungkinkan untuk membuat pola hubungan antar negara dan masyarakat di luar peran partai politik yang formalistik lewat peran kelompok-kelompok informal. Namun demikian, Prezworski dan kaum Neo-institutionalist mengingatkan perlunya memahami berbagai kelemahan dari representasi alternatif (Erawan, 2007:13). Pertama, basis legitimasi representasi alternatif tidaklah sekuat legitimasi formal layaknya parpol. Kedua, bagaimanapun lembaga alternatif tersebut cenderung informal dan tidak langsung mewarnai kebijakan publik. Sinergi dengan lembaga formal biasanya belum banyak dipahami. Berdasarkan kontradiksi tersebut, gagasan yang dapat muncul adalah perluasan dalam hal keanggotaan MPR sebagai lembaga perwakilan dan permusyawaratan. Aktor-aktor informal seperti lembaga adat, lembaga sosial-keagamaan, NGO, dan berbagai bentuk civil society lainnya, perlu mendapat ruang yang “formal” secara kelembagaan dalam MPR. Di satu pihak memperkaya unsur-unsur demokrasi dalam MPR (terutama dalam mengimbangi besarnya kekuatan parpol), di pihak yang lain, memberikan legitimasi terhadap partisipasi civil society. Tentu saja argumen ini perlu dibedakan dengan bentuk keanggotan golongan di era orde baru yang sarat manipulasi dan nepotisme. Unsur golongan harus betul-betul mencerminkan partisipasi dari civil society. Dengan demikian perumusan GBHN betul-betul dilaksanakan secara demokratis dan konsensus.
*Penulis adalah Dosen LB di Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISPOL, UNSRAT Manado
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H