Mohon tunggu...
Romel Krismanto Malensang
Romel Krismanto Malensang Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Keimigrasian Pertama

Riwayat Pendidikan: SDN 1 Poyowa Kecil (1997); SMP N 1 Kotamobagu (2003); SMK N 1 Kotamobagu (2006); Fisip Universitas Sam Ratulangi (2009); Pascasarjana Fisipol Universitas Gadjah Mada (2013).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekerasan dan ‘Intoleransi’ di Daerah Istimewa Yogyakarta: Perspektif Konflik

7 Juni 2015   02:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah paradoks mengemuka ketika beragam aksi kekerasan ‘intoleransi’ terjadi belakangan ini di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang adalah ‘city of tolerance’. Sebut saja kasus penyerangan terhadap rumah seorang Katholik di Kecamatan Ngaglik, Sleman sedang mengadakan ibadah doa Rosario; kejadian tersebut terjadi pada 29 Mei 2014. Belum lama setelahnya, tepat 3 hari kemudian yaitu padatanggal 1 Juni 2014 kembali terjadi aksi kekerasan bermotif agama lainnya; yaitu penyerangan dan pengrusakkan bangunan tempat beribadah umat Kristen dan rumah seorang Pendeta di Desa Tridadi, Sleman. Rentetan kejadian tersebut, menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah motif dari serangkaian aksi kekerasan ini? Apakah motif agama semata-mata menjadi penyebabnya? Atau ada motif yang lainnya?

Guna menjawab pertanyan-pertanyaan di atas, mari terlebih dahulu kita memahami apa itu konflik dan kekerasan dalam perspektif teori konflik. Kerangka pikir dalam tulisan ini dibingkai berdasarkan konsepsi Johan Galtung tentang hubungan antara konflik dan kekerasan. Galtung mengatakan bahwa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan Contradiction (C), attitude (A) dan behavior (B) pada puncak-puncaknya. Komponen pertama, contradiction (kontradiksi) mengacu pada sesuatu yang mendasari suatu konflik berupa ‘incompatibility of goals’ atau ketidakcocokan tujuan antara para pihak yang terlibat. Komponen kedua, attitude (sikap) mencakup pengertian tentang persepsi dan mis-persepsi antara pihak yang satu dengan yang lain, ataupun dengan pihaknya sendiri. Terkadang attitude menghasilkan stereotip untuk merendahkan pihak yang lain yang dipengaruhi oleh emosi seperti rasa takut, kemarahan dan kebencian. Komponen terakhir, behavior (perilaku) merupakan aspek yang telah termanifestasi dalam bentuk tindakan seperti ancaman, paksaan, serangan dan kekerasan.

Melengkapi penjelasan diatas, Galtung mengemukakan konsep tentang kekerasan. Menurutnya, kekerasan ada dalam beberapa bentuk, seperti kekerasan langsung (direct violence), kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan kultural (cultural violence). Kekerasan langsung dapat diatasi dengan mempengaruhi konflik behavior (B); kekerasan struktural dapat diatasi dengan menghilangkan contradiction (C) dari struktur dalam bentuk ketidakadilan; sedangkan kekerasan kultural dengan mempengaruhi konflik attitude (A).

Berdasarkan pada konsepsi Galtung, kita dapat menganalisabahwa rentetan kejadian kekerasan ini telah berujung pada suatu kekerasan langsung (direct violence). Kekerasan langsung pertama adalah penyerangan terhadap warga Sleman bernama Julius Felicianus ketika rumah tersebut dipakai untuk ibadah doa Rosario. Selain Julius, korban lainnya dalam insiden tersebut berjumlah 7 orang peserta ibadah termasuk ibu-ibu, seorang anak yang diestrum dan seorang wartawan Kompas. Kekerasan langsung kedua berupa penyerangan terhadap sebuah bangunan digunakan beberapa umat Kristen untuk menggelar kebaktian di daerah Tridadi, Sleman. Dalam penyerangan tersebut, puluhan massa juga merusak rumah seorang Pendeta di samping bangunan yang digunakan beribadah tadi.

Ketika konflik telah berujung pada sebuah aksi kekerasan langsung maka perlu ada intervensi untuk meredamnya. Mempengaruhi komponen contradiction (C) yang ‘laten’ adalah jawabannya. Kontradiksi yang terjadi adalah ketidakcocokan tujuan dan pengetahuan antara pelaku penyerangan dan korban. Faktor yang paling kelihatan yang menyebabkan kontradiksi dalam kasus-kasus kekerasan tersebut adalah masalah perbedaan agama. Walaupun demikian, sebenarnya ada banyak faktor lain yang patut ‘dicurigai’ melatarbelakangikekerasan langsung banyak terjadi. Salah satu faktor itu ialah perubahan politik Indonesia dari era Orde Baru ke era Reformasi. Masa Orde Baru dimana negara mengontrol dengan ketat aktifitas masyarakatnya mengalami perubahan ketika kebebasan berekspresi dalam sosial dan politik nyata di era Reformasi.

Hal negatif yang ikut terbawa adalah terjadinya banyak konflik berbasis identitas yang tidak sedikit ditunggangi oleh kepentingan politik. Perilaku semacam ini semacam diberi ruang dalam perubahan politik di era Reformasi. Demikian pula yang terjadi di Yogyakarta, perbedaan agama seakan menjadi alat untuk membenarkan perilaku kekerasan terhadap suatu komunitas. Banyak pihak menduga penyerangan ini digunakan segelintir orang dalam rangka kontestasi kepentingan menjelang Pemilihan Presiden 2014. Karena kabar yang beredar bahwa Julius salah satu korban utama penyerangan adalah pasangan Capres Jokowi-JK di DIY. Hal inilah yang kemudian membawa kita pada pemahaman pentingnya juga untuk mempengaruhi attitude (A) atau sikap yang terbangun di masyarakat Yogyakarta saat ini. Karena persepsi yang sesat dapat menjurus pada kekerasan kultural yang akhirnya kembali melahirkan kekerasan-kekerasan langsung. Stereotip negatif terhadap kaum-kaum minoritas perlu dikikis dengan membangun kembali persepsi ‘city of tolerance’yang mengakar di masyarakat. Dengan melakukan hal tersebut niscaya persoalan SARA sulit ditunggangi oleh oknum-oknum dengan syahwat politik kotornya.

*) Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Jurusan Politik & Pemerintahan.

Kompas, Jumat 30 Mei 2014

Kompas, Minggu 1 Juni 2014

Miall, Hugh, Ramsbotham, Oliver, dan Woodhouse Tom. 1999. Contemporary Conflict Resolution 2nd edition: The Prevention, Management and Transformation of Deadly Conflicts. Cambridge: Polity Press. Hal. 9-11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun