Indonesia saat ini tengah menghadapi pandemi COVID-19 yang telah menelan ribuan penderita. Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan manusia namun juga berdampak pada hampir seluruh sektor kegiatan masyarakat. Salah satu sektor yang terdampak adalah sektor pendidikan yang mengharuskan kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring (online).
Mengingat virus corona sepertinya tidak akan hilang dalam waktu dekat, maka pemerintah mengumumkan agar "berdamai" dengan virus COVID-19. Kemudian muncul istilah "New Normal" atau beradaptasi dengan pola kehidupan yang baru di tengah ancaman COVID-19.Â
Beberapa sektor perlahan mulai dibuka kembali diantaranya sektor perdagangan dan transportasi. Namun diantara sektor yang perlahan sudah dibuka kembali, sektor pendidikan menjadi sektor terakhir yang akan dibuka saat new normal ini.
Di tengah ketidakpastian kapan sektor pendidikan kembali dibuka, penulis ingin beropini dari sudut pandang perguruan tinggi khususnya mahasiswa eksakta.Â
Seluruh kegiatan perkuliahan ketika masa pandemi dilakukan secara daring melalui berbagai media seperti WhatsApp group, Zoom, Google Class dan lainnya. Kegiatan itu termasuk kegiatan pengajaran yang seharusnya dilakukan di kelas, ujian, sidang tugas akhir dan kegiatan praktikum.
Kegiatan praktikum saya rasa merupakan kegiatan yang mutlak tidak bisa dilakukan secara daring terutama bagi mahasiswa eksakta yang membutuhkan uji-uji percobaan yang biasa dilakukan di laboratorium atau lapangan.Â
Mahasiswa seperti Fakultas Kedokteran, Kimia, Pertanian, Peternakan, Farmasi, Biologi, Perikanan dan Kelautan adalah mahasiswa yang membutuhkan praktek secara langsung.
Ketika praktikum dilakukan secara daring maka ada transfer ilmu praktek yang tidak terserap secara optimal. Hal ini dikarenakan kegiatan praktikum meliputi pengambilan sampel, mengenali peralatan serta bahan-bahan yang dijadikan sampel suatu praktek. Oleh karena itu praktikum secara daring justru menimbulkan kesulitan dalam memahami proses metodologi percobaan oleh seorang praktikan.
Saya mewawancarai 2 orang asisten praktikum salah satu mata kuliah di jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Jenderal Soedirman, Angel Prasiska dan Yuli.Â
Angel adalah asisten mata kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan yang biasanya melakukan praktikum kunjungan ke salah satu tempat pengelolaan sumberdaya perairan.Â
Kali ini praktikum cukup dilakukan secara daring. Data yang digunakan tidak diperoleh secara langsung, namun diperoleh dari data yang telah ada. Sementara itu Yuli seorang asisten praktikum mata kuliah Tata Ruang DAS dan Pesisir juga melakukan praktikum melalui google classroom.Â
Saya juga mewawancarai seorang mahasiswi fakultas kedokteran yang harus melakukan kegiatan belajar secara daring, Putri namanya. Praktikum mahasiswa kedokteran yang mengharuskan kegiatan di laboratorium kali ini dilakukan dengan presentasi di Google Meet, Zoom dan Instagram langsung. Mau tidak mau preparat yang digunakan hanya ditunjukkan melalui video seolah-olah video tutorial.
Angel, Yuli, dan Putri merasakan ketidaknyamanan kegiatan praktikum dilakukan dengan online. Dari segi penyerapan materi, jelas mereka hanya bisa membayangkan melalui visual tanpa menyentuh sampel secara langsung. Hal ini dikhawatirkan mahasiswa menjadi tidak memahami metodologi pengambilan sampel secara ilmiah.Â
Jika tidak dipraktekan secara langsung, mahasiswa menjadi tidak terampil sehingga, jika dia mengambil data maka data tersebut bisa jadi tidak akurat. Hal ini menjadi masalah terlebih bagi mereka yang ingin menjadikan mata kuliah tersebut sebagai topik dalam penelitiannya kelak.
Permasalahan metode praktikum secara daring mengharuskan solusi ke depannya, khususnya untuk tahun ajaran baru perguruan tinggi yang akan dimulai pada bulan Agustus. Mengingat saat ini di beberapa wilayah Indonesia tengah memasuki masa new normal, sektor pendidikan khususnya perguruan tinggi saya rasa patut dipertimbangkan. Memang, dibukanya perguruan tinggi sangat dilematis dan berpotensi berisiko.
Beberapa hal yang menjadi resiko tersebut di antaranya adalah dosen-dosen yang telah sepuh rentan terpapar virus. Bisa dibayangkan jika kita kehilangan mereka para ilmuwan yang memberikan sumbangsih lebih bagi kemajuan negara.Â
Permasalahan lainnya adalah sebagian besar mahasiswa di suatu perguruan tinggi merupakan penduduk yang berdomisili tidak di wilayah perguruan tinggi tersebut.Â
Sebagai contoh, jika IPB akan dibuka kembali pada Agustus ini karena di wilayah Bogor telah penularan COVID telah cenderung melandai, bagaimana dengan mahasiswanya yang tersebar hampir di seluruh Indonesia yang daerahnya masih berjuang melawan COVID? Ini memang akan sangat dilematis.
Kembali fokus pada sisi praktikum, pemerintah juga perlu mempertimbangkan permasalahan praktikum yang telah dipaparkan. Saya rasa akan sangat terkesan "dipaksakan" bila kegiatan belajar mengajar masih dilakukan secara daring terlebih bagi kegiatan praktikum.Â
Maka menurut saya, pilihannya adalah membuka kembali kegiatan perguruan tinggi dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan disiplin, atau tetap melakukan kegiatan belajar secara daring, namun ilmu tidak terserap secara optimal.
Hal yang paling memungkinkan sepertinya tetap dilakukan pembelajaran via daring. Namun saya mendesak pemangku kebijakan terkhusus pada penyelenggara pendidikan memperhatikan permasalahan praktikum ini.Â
Adakah cara lain kegiatan praktikum tetap dilakukan secara daring namun mahasiswa betul-betul paham dan terampil sehingga outputnya hampir sama dengan praktikum di laboratorium? Semoga saja ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H