Mohon tunggu...
Taufiq Ahmad Romdoni
Taufiq Ahmad Romdoni Mohon Tunggu... Ilustrator - Pemikir

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Didemo Nelayan, Haruskah Menteri Susi Mundur?

16 Juli 2017   14:05 Diperbarui: 17 Juli 2017   09:40 5608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ratusan nelayan melakukan aksi demonstrasi pada Selasa, 11 Juli 2017 di depan Istana Merdeka. Massa aksi menuntut Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti untuk mundur dari jabatannya. Mereka merasa bahwa selama ini Menteri Susi mengeluarkan kebijakan yang tidak memihak pada nelayan. Kebijakan mengenai pelarangan alat tangkap cantrang masih menyisakan persoalan yang belum bisa terselesaikan. Dalam aksi tersebut, nelayan juga menilai bahwa dengan adanya Peraturan Menteri Nomor 56 dan 57 Tahun 2014, mengakibatkan matinya usaha karena melindungi nelayan lobster dan kerapu.

Sejumlah tagar #gantimenterisusi pun ramai di dunia maya, khususnya twitter. Tak lama kemudian, muncul tagar #standforsusi untuk memberikan dukungan kepada Menteri Susi agar tetap sebagai Menteri kelautan dan Perikanan. Kabar terbaru, isu reshuflekabinet Jokowi-JK akan segera dilakukan. Nama Susi Pujiastuti pun muncul sebagai nama yang akan diganti dari jabatannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Menteri yang "nyentrik" ini telah mewarnai pembangunan maritim di Indonesia. Berlatar belakang pengusaha perikanan dan penerbangan, Susi Pujiastuti juga memiliki latar belakang pendidikan yang tak lazim pada umumnya. Sebagai menteri, Susi Pujiastuti hanya bermodalkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Hal ini lah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Susi Pujiastuti yang mampu menjadi seorang menteri. Lalu apakah Susi Pujiastuti harus mundur dari jabatannya?

Banyak pihak yang tetap mendukung Susi Pujiastuti menjabat sebagai Menteri KKP. Sejumlah langkah yang telah dilakukan oleh KKP, dinilai memberikan dampak yang baik terhadap kondisi perikanan di Indonesia. Upaya yang dilakukan dalam memberantas Illegal, Unreported, Unregulated(IUU) Fishing,berdampak pada stok ikan lestari atau maximum suistainable yield(MSY).MSY mengalami kenaikan dari 7,3 ton pada tahun 2015 menjadi 9,93 juta ton pada tahun 2016.

Jumlah produksi perikanan tangkap pada tahun 2014 sebesar 6,2 juta ton. Sedangkan pada tahun 2015, jumlah produksi perikanan tangkap sebesar 6,52 juta ton. Naik sekitar 0,3 juta ton pada tahun 2015. Sedangkan produksi perikanan budidaya pada tahun 2015 sebesar 17,47 juta ton. Sedangkan pada 2014 produksi perikanan budidaya sebesar 14,52 juta ton. Terjadi kenaikan produksi perikanan budidaya sebesar 2,95 juta ton.

Mayoritas nelayan Indonesia, masih dapat dikatakan di bawah garis kemiskinan. Jika kita mencoba menilai kesejahteraan nelayan Indonesia, maka dapat digunakan dengan parameter Nilai Tukar Nelayan (NTN). Nilai tukar nelayan pada tahun 2015 mencapai 106,14. Terjadi kenaikan NTN jika dibandingkan dengan NTN pada tahun 2014 yaitu 104,63. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya peningkatan produksi ikan oleh nelayan yang cenderung meningkat.

Produk Domestik Bruto (PDB) pada sub sektor perikanan tahun 2015 menunjukkan tren yang positif. Kontribusi PDB perikanan terhadap perekonomian nasional sebesar 2,53%. Pertumbuhan PDB perikanan lebih tinggi dibandingkan dengan PDB nasional. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan industri perikanan.

Berdasarkan data-data tersebut, Susi Pujiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan mampu meningkatkan kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini juga berpengaruh terhadap kondisi perikanan yang mengalami peningkatan. Beberapa indikator yang dicapai oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan terjadi peningkatan setiap tahun.

Atas pencapaian kinerja Susi Pujiastuti, beberapa waktu lalu beliau mendapatkan penghargaan Peter Brenchley Ocean Awards kategori kepemimpinan. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan tertinggi di bidang maritim dunia. Visi dan kebijakan pembangunan ekonomi dan konservasi laut di Indonesia menjadi kunci keberhasilan beliau mendapatkan penghargaan tersebut.

Namun sejumlah pihak menilai bahwa kebijakan Susi Pujiastuti tidak lah berpihak pada nelayan. Kebijakan menteri Susi tidak memandang dampak dari berbagai sisi, terutama dampak bagi kesejahteraan nelayan. Kondisi perairan laut di Indonesia memang mengalami penurunan kualitas. Over Fishing,kerusakan habitat, menjadi masalah yang sedang dialami saat ini. Perikanan yang berkelanjutan merupakan topik utama bagi kegiatan perikanan saat ini. Kegiatan perikanan yang ramah lingkungan dengan tidak merusak merupakan hal yang utama karena untuk menjamin ketersediaan sumberdaya di waktu yang akan datang. Oleh karena itu, sejumlah kebijakan dibuat dengan tujuan untuk melindungi ekosistem, seperti pelarangan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti Cantrang.

Persoalan yang masih menjadi polemik hingga saat ini adalah bagaimana kepentingan ekologis dapat dipadukan dengan kepentingan ekonomi. Persoalan cantrang merupakan persoalan perbenturan antara aspek ekologis dan ekonomis. Cantrang merupakan alat tangkap yang beroperasi di dasar perairan, oleh karena itu sapuan yang dilakukan oleh cantrang dikhawatirkan akan merusak lingkungan dasar laut. Sifatnya yang tidak selektif juga menyebabkan hasil tangkapan ikan menjadi tidak selektif. Dikhawatirkan ikan yang belum mencapai usia ekonomis sudah tertangkap oleh alat tangkap cantrang. Hal ini akan mengakibatkan stok ikan terganggu karena populasi ikan tidak diberikan waktu untuk memulihkan populasinya.

Namun hal yang yang berbeda justru ditunjukkan oleh nelayan yang menganggap bahwa alat tangkap cantrang bukanlah alat tangkap yang merusak. Alat tangkap cantrang adalah alat tangkap terbaik bagi komoditas ikan demersal. Selama ini nelayan juga tidak melakukan operasi alat tangkap cantrang di daerah terumbu karang.

Sebetulnya, dalam memandang persoalan cantrang adalah bagaimana kepentingan ekologis dapat dipadukan dengan kepentingan ekonomis. Nelayan beralasan bahwa penggantian alat tangkap cantrang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Itulah yang menyebabkan selama pelarangan alat tangkap cantrang, nelayan tidak bisa melaut dikarenakan mereka tidak memiliki biaya untuk mengganti alat tangkap.

Seharusnya, alat tangkap alternatif sudah harus disiapkan sebagai alat pengganti cantrang. Kementerian Kelautan dan Perikanan pun sudah memberikan beberapa alat tangkap alternatif, namun hingga saat ini nelayan masih merasa alat tangkap tersebut bukan merupakan solusi yang baik atas dilarangnya alat tangkap cantrang. Akibat peraturan tersebut, banyak nelayan yang tidak bisa melaut.

Pada persoalan lainnya, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri KP Nomor 56 Tahun 2014, Menteri Kelautan Perikanan menghentikan sementara perizinan usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Langkah tersebut diambil karena maraknya kegiatan Ilegal, Unreporteddan Unregulated(IUU) Fishingyang menyebabkan adanya overfishing.Oleh karena itu kebijakan penghentian sementara perizinan usaha tangkap dilakukan agar dapat memulihkan kondisi perikanan di Indonesia.

Alih-alih memperbaiki kondisi stok populasi ikan dengan penghentian sementara perizinan usaha tangkap, justru kebijakan tersebut memiliki dampak secara ekonomi. Hal ini karena kapal-kapal yang beroperasi, mayoritas merupakan kapal-kapal yang berasal dari luar negeri. Hal ini menyebabkan kegiatan perikanan yang notabene merupakan kapal eks asing menjadi terganggu.

Dampak yang diakibatkan oleh adanya moratorium izin kapal eks asing lainnya adalah menyebabkan ribuan pekerja kapal dan pengolahan ikan menjadi menganggur. Hal ini juga berdampak pada berkurangnya bahan baku perikanan. Para pelaku industri pengolahan harus mengimpor bahan baku dari negara lain seperti India.

Namun sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arthatiani dan Apriliani (2016) mengenai dampak kebijakan moratorium kapal eks asing terhadap kondisi perikanan tuna, menunjukkan hasil bahwa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak  secara langsung terhadap daerah ekspor tuna, khususnya daerah Provinsi DKI Jakarta. Pasokan ekspor ikan Indonesia ke Thailand dan Filipina menunjukkan tren yang menurun setelah kebijakan Moratorium Izin Kapal Eks Asing. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan sebelum kebijakan tersebut, volume ekspor ikan ke Thailand rata-rata di atas 10 ribu ton setiap bulannya. Setelah kebijakan tersebut rata-rata ekspor cenderung di bawah 5 ribu ton setiap bulannya.

Persoalan susi saat ini hanyalah tinggal bagaimana menaruhkan kepercayaan pada nelayan, khususnya pengguna alat tangkap "tak ramah lingkungan". Bagaimana pun juga, nelayan merupakan subjek dalam membangun perikanan dan kelautan. Nelayan tersebut menyumbangkan banyak sumbangsih khususnya angka produksi perikanan tangkap. Resiko mencari nafkah yang mempertaruhkan nyawa, melawan ombak di lautan, nelayan tetap menjalankan itu semua, untuk konsumsi masyarakat Indonesia. Digantikan atau tidak sebagai menteri, itu adalah hak prerogatif Presiden. Presiden memiliki hak dan wewenang apakah Susi memang layak digantikan sebagai menteri karena dinilai tidak mensejahterakan nelayan.

Sumber :

Arthatiani, F. Y., Apriliani, T. 2015. Dampak Kebijakan Moratorium Kapal Eks Asing terhadap Kondisi Perikanan Tuna: Studi Kasus di DKI Jakarta. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan.5 (2): 71-83.

Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2014.

Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun