Mohon tunggu...
Romdonah Kimbar
Romdonah Kimbar Mohon Tunggu... Guru SD -

Guru Sekolah Dasar,CP 081567720095-081377354632 email: romdonah_kimbar@yahoo.com atau romdonahsagita@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Usia Remaja, Tak Dapat Membaca

26 September 2015   23:55 Diperbarui: 27 September 2015   02:46 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ah masak sih, hari gini remaja nggak bisa baca? 

Begitulah kenyataannya. Begini ceritanya ....

Cowok berperawakan ramping itu membukakan pintu rumah yang kuketuk sejak lima menit tadi aku menunggu. 

Semula aku mengira sepertinya tak ada orang di rumah itu. Sepi. Nyaris tak ada suara. Maklum. Rumah itu memang terletak di ujung kampung di pinggir kebun. Di belakang rumah yang besar itu, serumpun bambu tumbuh rimbun menambah suasana sepi sore itu. "Nggak ada orang", bisikku pada putriku yang berdiri di samping menemaniku.

Perhatianku tertuju pada cowok di depanku. Tinggi badannya kira-kira 165 cm. Kaos berlengan pendek yang dikenakannya menambah kesan perawakannya yang tinggi semakin terlihat kerempeng. Aku terpaksa agak mendongakkan kepalaku ketika berbincang dengannya. Tinggi badanku semeter kotor, kata teman-temanku.

"Bapak ada?" tanyaku padanya.

"Ada". Begitu jawabnya dengan lafal yang tidak begitu jelas. Kata-katanya terlontar perlahan mempersilahkan aku duduk.

Sambil menuju kursi di sudut ruangan pandanganku tak lepas dari cowok tadi. Aku perhatikan ada yang mengalir di sudut bibirnya. Kemudian dia bergegas masuk ke ruangan tengah untuk menghampiri orangtuanya yang sedang berkumpul bersama. Tidak lama kemudian ibunya menuju ruang tamu menemuiku. 

"Maaf  Bu, baru sempat ke sini. Agak nggak enak badan. Seharusnya awal bulan ke sini.

"Nggak apa-apa, Bu. Malah saya sampai lupa juga. Bulan ini jatuh tempo bayar premi, ya bu?

"Iya, nih Bu" Jawabku.

Tiap tiga bulan sekali aku memang mengunjungi keluarga ini. Aku melayani mereka sebagai customer dari program yang aku miliki. Di samping itu putrinya ada yang pernah jadi anak didikku. Jadi aku sudah mengenal keluarga ini sejak lama. Namun cowok yang membukakan pintu tadi luput dari perhatianku selama ini.

Dulu pertama kali ketemu, cowok kecil itu yang kemudian kutahu namanya, berinisial F, masih sekitar  lima atau enam tahun umurnya. Saat itu kondisinya sungguh tak seperti anak seusia dia pada umumnya. Ia belum bisa bicara, makan masih disuapi, air liur berceceran keluar dari mulutnya. Tak alang, baju yang dikenakan selalu basah karenanya. 

Setahuku saat itu ia ikut belajar juga di TK di kampungnya. Namun karena rumahku berjauhan walau masih satu desa, aku tidak begitu tahu perkembangannya, terutama dalam hal pendidikannya. Sampai akhirnya sore ini aku tahu ia yang menginjak masa remaja itu ternyata tidak bisa membaca. Ibunya menuturkannya padaku. Karena malu diolok-olok teman sekolahnya, ia nggak mau sekolah. Ia diolok-olok karena mempunyai penyakit/kelainan yang dideritanya sejak lahir. Ia hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar saja. Setelah itu tak pernah lagi mau sekolah.

Jadilah ia diam di rumah. Kedua orang tuanya hanyalah sepasang suami isteri sederhana yang terbiasa menghabiskan hari-harinya mengolah tanah milik mereka seadanya. Tentu banyak waktu tersita di ladang atau kebun milik mereka. Ia luput dari perhatian orangtua akan kebutuhan pendidikannya.

Dari penuturan orangtuanya aku jadi tahu lebih banyak tentang cowok kerempeng itu . Seorang remaja yang tidak beruntung seperti remaja lain seusianya. Hari-harinya dilewatinya dengan berdiam diri di rumah. Tak ada yang bisa dikerjakannya, karena memang tidak ada ketrampilan yang dimilikinya. Handphone yang selalu dipegangnya hanya digunakan sebagai alat permainan, tidak digunakan untuk komunikasi. Paling HP itu digunakannya menulis sms dengan cara didikte penulisannya. Kalau ada SMS masuk tak bisa dia membacanya. Penyakit yang dideritanya(ayan) sewaktu-waktu bisa datang menghampirinya. walau sudah banyak ikhtiar yang dilakukan orang tuanya namun belum membawa hasil.

Sebagai tanda empatiku terhadapnya, aku menyarankan kepada kedua orangtuanya untuk mengikutkan program pelatihan ketrampilan dengan gratis di BLK . Dengan harapan bahwa, dengan membekali ketrampilan pada putra mereka, mudah-mudahan bisa mengisi waktu yang selama ini hanya dihabiskan berdiam diri di rumah. Selain itu saya bersedia membantu belajar membaca kepadanya. Kebetulan aku punya koleksi buku-buku yang bisa digunakan untuk dibaca. Dengan dukungan dari kedua orang tua dan kakak-kakaknya saya berharap dalam waktu dekat, remaja berisisial F ini bisa membaca dan mengembangkan potensi yang dimiliknya.

Semoga!

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun