Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akibat Raisya

19 Desember 2023   17:51 Diperbarui: 19 Desember 2023   19:12 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Serius? kamu belum menikah?". Raisya seakan tak percaya akan jalan hidup yang kutempuh. "Isteri yang bagaimana yang kau cari, Bim?..."
Perempuan dihadapanku seperti makhluk dari gugusan bintang-bintang ditingkatan langit. Apakah dia lupa sepuluh tahun yang lampau? Dan sekarang dia menertawakan peta hidup yang kubuat. Parasnya belum beranjak dari keterkejutan. Segaris tipis senyum menutupi. Dia mencoba bersimpati?
"Perkataan ibumu benar". Aku mencungkil memori padanya. Sebuah ledakan terhampar.
"Sudah...sudah. Jangan kau ungkit lagi". Ada jengah dihati Raisya. Semburat merah memenuhi wajahnya. Dia mencoba menutupi. Kepalanya menyamping mencari pemandangan lain.

"Apa yang kau harapkan dari bocah itu?". Perkataan Ibunya menghujam langsung pada sasaran. "Ibu hanya ingin anaknya hidup bahagia tak kurang suatu apa. Pahamilah"
Sebuah perjodohan telah disiapkan  buat anak perempuannya. Raisya tersentak ketika kabar itu tersampaikan.
"Tapi kami telah sepakat, bu"
"Sepakat? Apa yang kalian sepakati?"
"Kami akan menikah bila lulus"
"Tidak! Ibu tentang rencana kalian!" Kondisi keluarganya yang tergurat di kasta bawah menjadi titik penjelas kenapa Raisya dijodohkan dengan Kresna, anak pemilik PO(perusahaan otobus). Tujuannya gamblang. Agar hidupnya aman secara materi. Jangan sampai kutukan kemiskinan terus mencengkeram tengkuk keluarganya.
"Tuhan memberimu kecantikan untuk mengangkat kita dari lingkaran kemelaratan. Kamu tidak paham? Itu sebuah nilai, anakku", lirih ibunya.
"Ini bukan era Siti Nurbaya, Bu". Raisya melawan.
"Siapa yang bilang!".
Sebelum bibirnya membuka, hardikan pedas menyentak, "Tidak usah protes!"

Selama ini, kecantikan Raisya membuat kebat kebit pria-pria berhati flamboyan. Perjodohan itu berjalan sesuai skenario. Tiga anak berhasil keluar dari gua garbanya.

"Apa yang membuat tempat kerjamu mau mengangkat profil Perusahaan ini? Raisya menatapku. Sebuah kesempurnaan kembali terhidang setelah sekian lama menghilang.
"Peningkatan pendapatan, bahkan secara holistik armada perusahaan ini sangat mencolok dan mendapat apresiasi dari berbagai asosiasi". Uraian aku paparkan secara panjang lebar. "Dari tahun ke tahun gradenya naik"
Perbincangan kami hanya fokus pada topik yang jadi keinginan dewan redaksi media dimana aku bekerja. Raisya menjelaskan secara detail. Hingga waktu wawancara usai.
"Kapan aku bisa ketemu lagi, Bim?"
"Maaf, aku tidak bisa pastikan". Kalimat pamit merunduk.

***

"Dari seorang perempuan hebat", kata Adinda, rekan kerjaku, menyerahkan sekotak besar makanan mengisi mejaku.
"Siapa?"
"Yang kau wawancarai seminggu yang lalu?", Kata Adinda. "Pemilik Perusahaan Otobus(PO) itu"
Aku kaget. Berani sekali dia.
Pernikahan Raisya menarik dirinya dipusaran pengelolaan perusahaan. Pembelajaran hebat dari mertuanya membuat Raisya dipercaya pada posisi vital. Suaminya yang lumpuh memaksa dirinya menerima amanat besar. Kecelakaan pada sebuah kegiatan mengirimkan suaminya ke kursi roda. Empat tahun teronggok dalam duka. Sebuah pukulan bagi pria sentosa. Pikiran buruk menggerogoti raga serta pikiran hingga mempengaruhi mental. Murung. Mudah meledak.

"Kemana saja kau selama beberapa hari ini?". Kresna memutar-mutar cincin peraknya. "Dua hari hilang dari anak-anak" Wajahnya selalu suntuk, rambutnya acak-acakan tak terawat.
"Kapan terakhir, mas potong rambut", tanya Raisya.
"Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Aku tanya kemana saja kau selama beberapa hari ini?". Tatapan Kresna menyentak.
"Ada peresmian jalur baru, mas. Perusahaan telah menambah armada untuk suatu titik yang selama ini luput dari pesaing lain"
"Sudah melewati kajian mendalam?", Tanya Kresna
"Sudah. Kita yakin rute ini akan menjadi pundi-pundi baru serta akan diminati konsumen"
"Apa harus menginap? Punya anak buah buat apa?". Kesan menyidik tergambar.
"Aku hanya ingin tahu saja, bagaimana kondisi dilapangan". Raisya merasa tersudut.
"Atau itu alasanmu agar bisa bersenang-senang bersama teman-temanmu?". Raisya sudah tahu arah omongannya. Kresna selalu berulah dan memicu pertengkaran.
"Mas, jangan sangkutpautkan teman-temanku. Ini murni pekerjaan"
"Pekerjaan? Sambil curi-curi kesempatan". Kresna menjadi perusak suasana.
"Jadwal terapi kapan, mas?" Seruput wangi teh dingin membentengi hati Raisya dari kalimat sinis suaminya.
"Tidak perlu kau tanyakan. Sudah ada yang mengurusi" Pandangan Kresna membajak kolam ikan dihalaman depan.

Bom waktu itu adalah Kresna Dwipayana, yang perilakunya membahayakan kesehatan serta lingkungan rumah. Dia selalu mengutuk, "Kapan aku bisa berjalan lagi!" , Teriaknya. Telapak tangan mencengkeram seraya dipukul-pukulkan pada pegangan kursi roda, "Empat tahun aku membusuk di rumah ini! Dan kamu bersenang-senang!"
Bila ucapannya sudah mengarah pada kecemburuan, Raisya lebih bijak menutup mulut. Dia tidak perlu membalas dengan jawab. Hidup dengan pria angkuh memberinya pelajaran supaya hatinya siap lebih lapang. Kupingnya makin membaja walau kadang tetesan air mata masih mampu membobol celah kecil. Sendirian menahan gempuran tidaklah mudah. Sandiwara dia pertontonkan kepada siapapun agar hidupnya terlihat baik-baik saja. Dibalik senyum cerianya, potong-potongan kepedihan bersemayam lugas.

"Kalau bukan karena politik ibumu, pernikahan ini tidak terjadi". Kresna selalu mengungkit masalah.
"Tapi kita sudah punya anak, mas"
"Itu karena aku terpaksa denganmu"
"Terpaksa?". Bibir Raisya membentuk huruf O.
"Bapakku menuntut agar aku segera menikah dan punya banyak anak, supaya bisa mewarisi harta melimpahnya" Wajah Kresna menengadah. "Aku mengikuti skenario mereka"
"Kenapa tidak menolak?"
"Lha, kamu juga? Kenapa mengiyakan?". Kresna tersenyum kecut, "Kita berdua ternyata pengecut" Kresna terkekeh-kekeh, "Kita berdua pengecut! Pecundang!" Tawa panjang merapat diruangan itu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun