Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akibat Raisya

19 Desember 2023   17:51 Diperbarui: 19 Desember 2023   19:12 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencegat anak buahnya merupakan kebiasaan pak Bawono. "Berita apa yang kalian bawa? Jangan setor berita picisan, apalagi double kategori". Memeriksa dan ngomel-ngomel bukan sesuatu yang aneh bagi kami. Bekerja dengan bos seperti Bawono kudu mental kuat, stamina dahsyat.
"Berita ini sudah basi. Tidak menjual. Buang! Ganti yang lain" pandangan Bawono menelisik setiap tulisan yang kami buat. "Wartawan itu harus punya insting kuat. Telinga, hidung, mata dimaksimalkan. Bekerjalah seperti anjing pelacak. Endus, endus dan endus. Kita adalah pemasok nutrisi otak bagi masyarakat. Camkan itu!"

Kami biasa dibuat kelabakan bila deadline. Tekanan mampu menyemburkan dampak. Persaingan di media cetak memang sengit. Koran cetak yang hanya memuat berita-berita picisan akan tergencet. Andaipun laku, oplahnya hanya berkisar segitu-segitu saja. Karena segmen pasar mereka memang masyarakat bawah.
Pak Bawono selalu mencoba menjadi Kubilai Khan, bengis. Tak ada kompromi bagi wartawan yang bekerja dibawah kendalinya.
"Hidup kita dari jualan berita! Cari info dan gali sumber-sumber yang menarik. Konstruksi kan fakta dan data".
Sejak bertemu Raisya, ada keuntungan buat koran kami. Bawono menyuruhku agar PO yang dikelola Raisya mau memasang iklan dilajur depan.
 "Itu bagian periklanan, bukan tugas saya, pak", sergapku.
"Sudahlah, untuk kasus ini, kamu yang bergerak. Bukankah perempuan itu temanmu? Masak kamu tidak bisa membujuk"
Begitulah Bawono, kadang berubah jadi Dajjal. "Dasar bedebah tua!", Batinku.

Bertemu Raisya sebenarnya tidak aku harapkan lagi. Tapi baginya, sosokku sangat dia tunggu.
"Gampang itu, Bim. Bisa diatur" wajahnya sumringah mendekam pekat, "Perusahaan memang ingin beriklan dibeberapa media. Tempatmu adalah salah satunya". Inilah mitra terbaik yang pernah dan kesekian berkolaborasi dengan kami. Para pemilik modal butuh bahasa lentur untuk memenangi pertarungan dalam strategi pemasaran. Cuma yang dikuatirkan, bisakah kita obyektif jika mitra kita bermasalah dengan publik?

Bawono bersorak ketika idenya goal. "Makasih lho, Bim". Bawono menyangga dagu dengan punggung tangan melipat. Senyumnya melebar tanda senang.

Ternyata, keseringan bertemu Raisya memunculkan kekuatiran tersendiri. Aku merasa telah terjerat.  Sebuah kesalahan menggores.
"Ini masuk advetorial, Bim", Raisya menyodorkan lembaran-lembaran ukuran A4. "Artikel yang kamu tulis sungguh menarik".  
Ingatanku terusik oleh pernyataan seorang wartawan tiga jaman, "Menulislah dengan kritis, tetapi jangan menggurui dan jangan berpihak kepada kepentingan tertentu". Kalimat terakhir cukup membebaniku.
Tanganku mengambil lembaran tersebut, tapi pikiranku berkecamuk. Beberapa hari ini suasana kantor sedikit janggal, terutama sikap Bawono. Kubhilai Khan itu sekarang tidak terlalu mempermasalahkan artikel-artikelku. Wajahnya selalu tergores senyum sumringah. Beda sikap kepada rekan lain. Simpul-simpul otakku mencoba menganalisa, "Ada apa ini?"

***

"Kami mau pasang iklan di koran bapak, tapi yang maju harus Bima". Raisya menyodorkan syarat.
" Itu bisa diatur, bu Raisya", ujar pria berjakun onta. "Pokoknya tahu sama tahu"
Jabat tangan diantara keduanya menjadi kesepakatan yang terselubung.

***

Semakin lama perilaku Raisya membuatku risih. Terlalu gamblang. Bagiku, ini sebuah masalah. Aku mencoba menghindari segala ajakannya. Namun, dia punya cara untuk menemukanku.
Dia dulu memang mampu melambungkan hatiku, tapi sekarang lain. Aku harus tahu diri dan tahu tempat. Yang jadi masalah, Raisya memintaku menemani dalam setiap acara apapun. Dia selalu memperkenalkan diriku sebagai, "Kenalkan, ini Bima. Fotografer perusahaan kami"
Aku tergagap. Skenario macam apa yang dia angkat? Tapi akhirnya, aku mengerti kalau ini hasil kesepakatan antara Bawono dan Raisya. Tengik!

***

Seorang perempuan berdiri di trotoar depan rumah. Bergaya kaum pekerja dengan celana slacks dipadu kemeja, berwajah aristokrat, sedang menuliskan sesuatu di blocknote. Lentik jemarinya menggenggam bolpoint, menggoreskan pada lembar tabula rasa. Akhir-akhir ini terlalu banyak perempuan berlalu lalang, berhenti sejenak, mengumbar pandangan hingga melongok isi halaman. Daya tarik apa yang membuat mereka berlaku demikian? Asik berkasak-kusuk dengan pikirannya? Di depan ada taman kecil dengan rumput manila yang rajin aku potong rapi,  bersama kursi besi yang pasti diduduki.
Bila aku keluar, seutas senyum menanjak di mataku. Aku umbar pikatan, "Mari, mbak". Balasan berbentuk ungkap manis menjalar tepat diujung hidung.
Langkah kaki menapak berat melintasi trotoar. Lintasan jalan di sepanjang rumahku lumayan sibuk. Lalu lalang pejalan berbaur bersama gantangan asap kendaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun