Tugas yang dibebankan padaku tak pernah berhenti pada ketukan terakhir pada hamparan huruf-huruf di mesin tik. Bawono selalu punya cara agar aku selalu sibuk. Dia tahu kapasitasku. Oleh sebab itu, agar kekuatan otakku keluar dengan menambah pekerjaan-pekerjaan diluar ketentuan. Aku pernah protes, tapi jawabnya, "Tenang saja. Ada bonus lumayan besar, Bim"
Kalau begitu aku tak berkutik. Bawono paham serta tahu cara "menodongkan pistol" supaya seseorang bertekuk lutut.
Seperti saat ini, aku ditugaskan meliput di daerah timur.
"Apa yang kau butuhkan minta saja pada Ratna", kata Bawono. "Laporkan apapun yang kau jumpai. Jangan lepas se inci pun"
Dengan mengendarai motor, penjelajahan ini akan menjadi pengalaman yang mengubah takdirku. Sesuatu yang baru di datangi selalu menyiratkan luapan hasrat, Bawono tahu itu. Yang pastinya, aku juga lepas dari gangguan Raisya selama beberapa hari.
Sebuah mobil menderu menyalip. Jalanan sepi menjadikan siapapun akan terpacu untuk mengencangkan pedal gas. Manusia-manusia sembrono bila menjumpa jalanan mulus. Memacu tunggangannya sampai melampaui batas kecepatan serta mengunci nalar. Desir angin menepuk tepuk raga mengacaukan khayalan. Sebuah tikungan lebar aku sergap bersama putaran pelan. Pemandangan nan elok terpampang,  menggoda siapapun untuk berhenti guna mengambil serpihan keajaiban Tuhan. Mobil yang menyalip tadi terpukau pula. Pengendaranya perempuan. Selintas aku familiar dengan tampilannya. Dimana ya? O ya, perempuan aristokrat itu! Ngapain dia kesini? Pertanyaan bodoh, Bim. Bentangan bumi bisa menjadi cerita siapapun. Apakah ini kebetulan? Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Satu tangan aku angkat berlagak menangkap angin. Alur jalan meliuk membabat setengah kesadaranku. Dengan satu tangan aku bergaya ala setan jalanan. Hembusan angin pegunungan, bau basah rerumputan  menambah daya rangsang akselerasi kecepatan. Bunyi klakson mengagetkan ku. Senyum perempuan Aristokrat itu muncul dari belakang setir. Cantik.
Hoi! Aku sapa karena luapan gembira. Ia menoleh, segaris tipis senyuman terpaksa dilukiskan. Laju mobil diperkencang, meninggalkanku hanya beberapa detik, lalu menghilang. Aku penasaran. Gas kuturunkan, gigi dua aku masuki sampai tiga memantapkan diri menikmati jalanan sepi. Pada suatu tikungan, mobil terlihat melambatkan diri. Aku geber untuk menjangkaunya. Berhasil melampaui sampai kudapati jalan sedikit naik dengan sisi kiri jurang alami. Klakson menghentak. Ini yang aku harapkan. Melambatkan motor untuk melihat reaksi sekali lagi si Aristokrat. Laju mobil kutangkap sangat kencang dari belakang dan...Brak! Motor ku terhempas melampaui badan jalan. Tubuh bergetar hebat. Tulang punggung seraya dihantam palu godam, pedih, panas, rontok. Jantung seraya lepas dari ikatan urat-urat syaraf. Aku terpana tanpa bisa berkata-kata. Terjun bebas. Masih sempat kulihat kanopi yang terbentuk dari puluhan pohon yang melambai-lambai sebelum menerima berat tubuhku. Bras!.... Dahan serta ranting bergantian memangsa. Klak! Trak! Tebasan-tebasan itu meluluhlantakkan raga. Tubuhku tak berdaya. Sampai sebatang dahan mematahkan leherku. Krak! Gelap.
***
"Sudah kau berikan uang belasungkawa itu? "
"Kuberikan pada ibunya", jawab si Aristokrat. "Dia mengucapkan terimakasih"
"Pastikan semuanya rapi tanpa ada saksi. Jangan sampai ada masalah dikemudian hari", kata Kresna.
"Tenang saja, pak", Â jawab perempuan Aristokrat. "Semua sesuai prosedur kerja".
"Membiarkan kucing kampung berdansa dengan kucing istana adalah malapetaka", lirih Kresna. "Harus di sudahi"
Perempuan Aristokrat itu pamit pulang. Suara mobilnya menderu menjauh hingga tinggal keheningan yang tertinggal.
Kursi roda bergerak melingkar mirip bahasa isyarat bahwa pesta telah usai. Kedua telapak tangan Kresna mengatup menempel dagu. Roda berputar pelan mengarah ke taman belakang. Kresna terkejut oleh kehadiran istrinya. "Raisya? Kamu mengagetkan". Dorongan bertambah cepat menuju kolam renang. "Apa yang kau lakukan, Sya?". Gesekan karet dengan ubin menimbulkan decit nelangsa. Tak ada jawaban. Raisya mendorong cepat hingga tubir kolam tinggal sejengkal. Kresna tergagap. Byur!. Kursi itu di telan hamparan air bersama pemiliknya. Lambaian tangan serta teriakan menjadi fragmen pilu. Gelegak kemarahan tergambar diparas Raisya.
"Penderitaan ini harus diakhiri", bisiknya. "Aku terlalu letih untuk semua cerita-cerita hidup ini". Raisya bersedekap tenang memandang gelembung-gelembung udara dari pusaran. "Selamat tinggal kemunafikan", Senyum kemenangan tersungging dibibir. Dia menikmati tragedi itu. Ada yang harus dihilangkan jika kedamaian ingin kau gapai.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H