"Kami hanya prajurit. Tunduk pada pimpinan. Disiplin", ucap Kapten tentara.
Seorang letnan menimpali dengan berkata, " Eksekusi akan kami lakukan pada tuan-tuan". Ia menerangkan surat perintah dari kolonel Gatot Subroto, Gubernur Militer Surakarta.
"Benarkah kalian merelakan kami? Tidak tahukah kau? Siapa saya? ", tanya Amir, "Pikirkanlah masak-masak"
"Tidak usah banyak bicara", ujar sang letnan.
"Saya tidak menyalahkan saudara, tapi negara akan mengalami kerugian", timpal Djoko Soedjono.
"Berikan kami kertas. Aku ingin meninggalkan pesan buat orang-orang terkasihku", pinta Soeripno. Ia menulis pesan buat isterinya yang di nikahi pada 1947 di London, Inggris.
"Sebaiknya kalian juga menulis", saran Amir. Matanya mengarah pada kawan-kawan lain. Sarannya diamini. Sebelas orang tawanan itu menggerakkan jemari menggoreskan kata pada lembaran-lembaran dluwang. Setelah selesai, dikumpulkanlah wasiat-wasiat itu.
Sebelas tawanan itu kemudian digiring. Amir Syarifuddin melangkah dengan tegas. Tak ada keraguan sedikitpun pada parasnya. Mentalnya memang telah teruji. Bahkan siksaan kempetai yang terkenal sadis pun masih bisa membuatnya tertawa.
"Jika jasadku terbujur, sertakan Al-Kitab ini di liang lahat", pesan Amir pada seorang kapten, " Letakkan di dadaku". Berpindahlah Al-Kitab pemberian Ferdinand Tampubolon. Sebelumnya, Ia telah berdoa selama satu jam.
Amir menghampiri seorang letnan muda sembari menepuk pundaknya. "Ijinkan kami menyanyikan Indonesia Raya dan Internationale". Yang dituju mengangguk.