"Buat menimbun minyak tanah", celetuk si pembuat perintah.
Namun disamping itu, kabar-kabar lain bersliweran menyibak telinga mereka kalau negara sedang tidak baik-baik saja. Siapa kawan siapa lawan sedikit membingungkan. Peristiwa demi peristiwa menyatroni republik yang baru berusia tiga tahun. Kekacauan melanda karena kucuran syahwat tak mampu dibendung. Semua memaksakan gagasan sendiri supaya dipakai memperkuat pondasi pemerintahan agar marwah negara terjaga. Pertikaian ide-ide menyulut agitasi dan propaganda hingga menimbulkan keributan. Suasana sedang gawat-gawatnya. Mereka hanya manut dan manut. Tak perlu banyak bicara. Sebab, salah bicara dikuatirkan berujung petaka.
Pekerjaan dilanjutkan ditengah gigitan hawa dingin. Jika bukan karena perintah urgensi, mereka lebih suka njingkrung, membalut raga dengan sarung di rumah masing-masing. Akumulasi cangkulan meujudkan hasil. Lubang besar memanjang penuh. Para penggali menuntaskan kuyub keringat.
"Empat orang tinggal. Sisanya dimohon pulang", perintah Letnan tentara itu. " O ya, sampaikan pada penduduk, jangan keluar rumah kalau nanti ada suara letusan. Tak usah mencari tahu. Mengerti! "
Letusan? Bukankah mereka disuruh untuk membuat galian guna menimbun minyak tanah? Apakah tidak berbahaya bila dikaitkan dengan letusan?
Saat itu minyak tanah sangat langka. Itu diperparah oleh agresi Militer Belanda. Jika keberadaan gudang cadangan minyak satu-satunya diketahui oleh agresor dan dihancurkan, akan mempersulit rakyat.
Kasak-kusuk mengapung. Ada apa ini? Keputusan akhir tergambar dari langkah kaki para penggali. Empat orang menunggu dihamparan rumput sambil menyeruput kopi klotok sesekali menggigit blanggreng(singkong goreng). Rokok klobot di sulut guna mendayung pikir.
Di pihak lain, malam ini juga tidak dibayangkan bagi sebelas tawanan. Todongan kareben dan moncong sten tidak menjadi soal. Karena senjata api model itu bagi mereka hal biasa yang kerap dijumpai selama revolusi bergolak. Cita-cita sebelas orang itu berantakan ketika APRI(Angkatan Perang Republik Indonesia) pendukung Soekarno-Hatta melibas pusat pemerintahan mereka di Madiun.
"Amir itu maunya apa? What will die Amir toch? ", tanya Bung Karno.