Selalu ramai dikerubungi pembeli. Berdatangan silih berganti dengan berbagai permintaan.Â
"Satu, mas. Pakai coklat sama oreo"
"Tidak pakai wijen?"
"Boleh deh. Tapi sedikit saja"
"Martabak telurnya dua. Yang isiannya jamur sama ayam"
"Dijadikan satu saja bungkusnya. Tidak usah sendiri-sendiri"Â
Keriuhannya menjadi alarm bagi aku dan teman-teman agar diam-diam segera mendekat. Merapatkan barisan dengan harapan panjang. Karena lapaknya buka sore hingga malam, pergerakanku kadang tidak diketahui.
Tapi apakah benar begitu? Tidak diketahui? Tepatnya, Darwis yang mengetahui kelakuan kami. Hanya dia. Darwis membiarkan kami karena bisikan langit tentang koloni kami telah dia dengar. Darwis selalu memberi kami apapun yang ada di kotak-kotak ramuan.Â
Sejak lapak itu buka tiga belas tahun yang lalu, sejak itulah kami mulai merapat. Kekuatan penciumanku menjadi daya lenting teman-teman agar segera bergerak.Â
Lapak Koh Bun sederhana, beberapa loyang berjejeran untuk mempercepat proses pesanan. Dinding seng dibentuk sedemikan rupa sebagai pembatas juga penutup dari pandangan para pengguna jalan. Spanduk merah besar menjadi papan perayu bertuliskan:Â 'Martabak Koh Bun-Asli Bangka'.