Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Taddabur Alam di Dua Bukit, Kinasih dan Cilenguk

8 Juli 2023   23:48 Diperbarui: 8 Juli 2023   23:54 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lebar jalan hanya pas untuk satu mobil. Hanya buat sopir yang terampil serta terbiasa melahap tanjakan. (Dokumen Pribadi)

Kinasih, nama itu terpampang di pintu gerbang kayu yang kelihatan lapuk. Catnya telah aus digerus alam tropis. Sebuah bukit ditahbiskan dengan nama tersebut. Beberapa menit sebelumnya, pancaran kebaikan Kinasih sudah nampak dari keramahtamahan penduduknya. Perjalanan menuju obyek wisata tersebut terbentuk karena kegabutan ponakan saya(Akmal). Libur yang cukup panjang(26 Juni sampai 16 Juli) cukup mengguncang rasa nyaman. Dia butuh udara segar pegunungan supaya penat otak hilang. Rabu, 5 Juli 2023 menjadi penanggalan baginya sebagai awal penjelajahan alam. Umurnya masih 14 Tahun, tercatat sebagai siswa di sebuah SMPN Solo. Saya datang, dia sudah siap diajak berpetualang.

Parkirkan motormu dan siap jelajahi alam (Dokumen Pribadi)
Parkirkan motormu dan siap jelajahi alam (Dokumen Pribadi)

Awalnya, lokasi yang pingin Akmal kunjungi adalah Bukit Gancik. Saya cegah, karena dari info yang saya dapat jalan menuju lokasi lebih curam. Disamping itu saya sebenarnya bosan melewati jalur Boyolali-Blabak (sudah sering). Akhirnya, tujuan perjalanan dipindahkan ke Bukit Kinasih dengan rute via Ampel. Jalur ini belum pernah saya tapaki. Sebenarnya, lewat Selo juga bisa. Satu jam kedepan, saya baru sadar ternyata rute yang saya pilih malah membuat tunggangan kami terseok-seok. Motor Matik Beat 2018 mengkis-mengkis. Sebersit rasa cemas menyembul.

Kondisi jalan menuju bukit Kinasih. Motor kelihatan kecil. (Dokumen Pribadi)
Kondisi jalan menuju bukit Kinasih. Motor kelihatan kecil. (Dokumen Pribadi)

Selama perjalanan, Akmal menanyakan hal-hal tentang tempat yang akan kami tuju. Membagi konsentrasi dengan menjawab rasa ingin tahunya sekaligus memacu motor pada kecepatan 40/Km menjadi celah sedikit. Motor saya geber kencang kembali diatas pertanggungjawaban.

Berhenti beberapa menit pada minimarket di kota Boyolali guna membeli bekal. Ya, logistik jangan lupa, karena di lokasi tujuan(berdasar testimoni lokal guide)nggak ada warung. Sebenarnya, andaipun di puncak ada warung , saya akan tetap bawa bekal sendiri. Karena sudah jadi kebiasaan.

Perjalanan yang menyenangkan melewati jalan-jalan desa dengan ragam penampakan merupakan berkah tersendiri. Jurang-jurang, rumah-rumah, lahan-lahan hijau, sengatan bau kotoran sapi yang dibiarkan memproses diri (pupuk kandang) menjalar nikmat. Hidung seperti di tusuk jarum dua belas biji.

(Dokumen Pribadi)
(Dokumen Pribadi)

Sebuah pertigaan dengan papan petunjuk kecil berwarna hijau pudar bertulis 'Bukit Kinasih' menyeret saya agar banting stang ke kanan. Jalan cor menyambut sumringah dengan tanjakan sedang, itu awalnya. Nanti didepan, tanjakan demi tanjakan dengan kemiringan menyakitkan menjadi warning bahwa motor matik tidak direkomendasikan menantang hegemoni jalur ini. Yakinlah, motormu akan menggeletak koma sebelum sampai pada lokasi. Mungkin, bila tidak berboncengan masih sanggup meraung panjang. Bobot saya 50 kg ditambah Akmal 40 kg cukup mengagetkan sang motor.

Kalian bisa mandi disini dengan limpahan air pegunungan. (Dokumen Pribadi)
Kalian bisa mandi disini dengan limpahan air pegunungan. (Dokumen Pribadi)

Kelincahan menaklukan jalan desa berkemiringan diatas normal menuntut konsentrasi dipertebal. Saya sudah wanti-wanti pada Rabbani Amrul Akmal Wisanggeni(RAAW) kalau nanti batas kekuatan motor dalam menekuk tanjakan habis, harus sigap melompat. Dan benar adanya, setelah meliuk-liuk menantang brutalnya jalan, akhirnya saya menyerah. Motor setelan kota dipaksa bertekuk lutut dihadapan liukan tajam nan menanjak. Tapi kok warga desa kalem saja menaiki motor dengan limpahan barang dibelakang? Jangan salah, bos. Motor mereka di setel untuk jalan pegunungan. Seperti yang dibilang seorang petani, "Motor Kulo kiat amargi wonten bengkel dipun setel damel pagawean ing gunung".

Dan kebanyakan motor mereka berjenis bebek atau koplingan. Yang sering dipakai gigi satu dan dua. Gigi tiga dan empat jarang digunakan. Lha kita, pakai motor tanpa gigi, alias ompong!
Saya berhentikan pada sisi kanan ladang tembakau. Memaksa bukan tindakan bijak. Saya parkir dengan mengganjal ban belakang pakai batu.

Nyaris tak ada
Nyaris tak ada "bonus" ke arah bukit Kinasih. Menanjak terus. (Dokumen Pribadi)

Selanjutnya jalan kaki sejauh kurang lebih 300 meter. Hawa sejuk menggulung tanpa pamrih. Bukit-bukit dengan jalan berkelok naik  kami lahap walau kadang harus berhenti sejenak. Pada sebuah tikungan berjumpa petani sepuh yang masih gagah perkasa, tegap sentosa, bagas waras. Sapa mengembang dengan senyum merekah. Menyimpul sejenak sembari menanyakan seberapa meter lagi jarak ke Bukit Kinasih.

"Namung celak, mas" kata petani sepuh , "Mriku mawon" Pandangannya mengarah ke atas. Sebilah arit terpegang sopan menghadap tanah.
Melangkah lagi tanpa ketergesaan. Karena tergesa-gesa tiada guna. Napas berkali-kali minta toleransi.

Dari jauh gerbang kayu bertulis Bukit Kinasih menancap tegak. Kanan kiri ladang dengan kemiringan hingga mencapai 25 derajat dihiasi beraneka ragam tanaman; sawi, daun bawang, kol, daun selada, tembakau, cabe, tomat menempati lajur. Tertata rapi, hasil jalinan tangan-tangan petani.

Lebar jalan hanya pas untuk satu mobil. Hanya buat sopir yang terampil serta terbiasa melahap tanjakan. (Dokumen Pribadi)
Lebar jalan hanya pas untuk satu mobil. Hanya buat sopir yang terampil serta terbiasa melahap tanjakan. (Dokumen Pribadi)

Sampai dilokasi, menengok kembali ke belakang untuk melihat kondisi bawah. Dari kejauhan terlihat beberapa petani peladang tekun merawat tanamannya. Kehadiran kami sudah menyita perhatian.

Mengamati obyek wisata tersebut menimbulkan pertanyaan panjang. Apa yang terjadi pada tempat yang berada di ketinggian 1325 MDPL ini? Saya menangkap kesan, tempat ini bukan obyek wisata seperti yang saya harapkan. Bangunan pendukungnya terkesan tua nan lapuk. Keberadaan toilet lah yang paling mumpuni dengan limpahan air gunung Merbabu. Sumbernya dari tuk Singit, mata air rembesan dari sebuah tebing. Hamparan bentang vegetasi hutan yang tumbuh berkelompok menarik mata. Pohon-pohon berdiri dengan interval tertentu memenuhi bentang alam.

Jawaban akan pertanyaan yang mengapung terurai ketika bertemu seorang peladang, datang memacu motor dengan membawa jirigen warna biru. Lepaskan penat, sambil selonjoran beralas rumput kering serta guguran daun yang merangas membentang di area, sembari menunggu kucuran air dari pipa memenuhi jirigen. Parasnya mengingatkan saya pada mantan walikota Solo, pak Rudy kumis. Perbincangan kami mengemuka manakala saya menanyakan kondisi tempat itu.

Seperti melewati laut yang terbelah.(Dokumen Pribadi)
Seperti melewati laut yang terbelah.(Dokumen Pribadi)

"Sebenarnya tempat ini awalnya tempat pembibitan benih", kata bapak berkulit sawo matang. Sesekali tangan dan bibirnya melakukan kolaborasi; rokok tingwe(nglinting dewe) menyemburkan gumpalan asap kecil.
Dialog unggah ungguh khas masyarakat Jawa berputar sebagaimana mestinya. Kami bercerita tentang beberapa hal, mengelupasi berbagai topik ringan. Dari penuturan bapak petani, saya jadi mengetahui bahwa obyek wisata ini yang memberi nama adalah Ganjar Pranowo(gubernur Jateng).
"Dulu Pak Ganjar pernah kemah disini dua hari", ujarnya
"Nopo nggih, pak?" Saya setengah tidak percaya, "Niku tahun pinten, pak?"
"Saestu", yakinnya, "Menawi mboten klintu, Pak Ganjar niku wonten mriki sekitar limangtaun kepungkur. Ngagem Tendo ageng". Si Bapak melanjutkan, "Melihat potensi serta keinginan warga dusun, akhirnya lokasi ini dikembangkan jadi obyek wisata"
"Kok sepi ya?"
"Ramainya hari Minggu", katanya, "Dua hari yang lalu, rombongan dari Salatiga kemah di sini"
"Oya?"
Bapaknya mengangguk sesekali meludah membuang rasa sepet. Tembakau yang dia sulut hasil tanam sendiri. Dari bibirnya terangkai narasi kisah hidup. Lulus dari Sekolah Kejuruan dia menikah dan mengabdikan diri total jadi petani. Mempunyai dua anak; yang pertama sudah bekerja di sebuah pabrik dan satunya masih sekolah di SMK. Tutur katanya mendayu sampai mengobralkan semua daya pikirnya.

Motor ini merupakan soulmate bapak petani. Tak pernah berkeluh kesah. Tangguh diajak bekerja. (Dokumen Pribadi)
Motor ini merupakan soulmate bapak petani. Tak pernah berkeluh kesah. Tangguh diajak bekerja. (Dokumen Pribadi)

"Saya punya beberapa lahan", kata pria dari Ngargosari, "Beberapa lahan Saya tanami tembakau, lainnya kentang, brokoli, sawi, daun bawang, tomat"
"Niku, pak?" telunjuk saya arahkan pada bentang didepan.
"Nggih, niku". Asap tembakaunya belum hilang. "Mase purun sayuran? Mangke Kulo petikke"
Saya menolak dengan halus, "Mboten sah, pak. Maturnuwun"
"Saestu, mas. Nopo sing dipuruni? Sawi? Brokoli? Daun bawang? Selada?"
Saya tetap menolak dengan sopan. Bapak itu(sayangnya, saya tidak menanyakan namanya)menawari saya sampai tiga kali. Waduh, baiknya si bapak.
"Kulo menawi mepe mbako(tembakau) dugi bandara(Adi Soemarmo). Nek boten teng Banyudono"
Kenapa sejauh itu? Ternyata, kondisi cuaca memaksanya harus turun gunung. Tembakau itu harus dijemur agar memenuhi kriteria pabrik. Sedangkan di Senden cuaca kerap mendung. Satu pick up bersama empat orang(termasuk sopir) dipenuhi rajangan tembakau dengan peralatan pendukung. Penduduk bawah maklum kalau petani gunung(Merbabu-Merapi) pasti akan turun pada bulan September, sehabis prosesi Tungguk Tembakau. 

Tanaman tembakau dilahan miring. (Dokumen Pribadi)
Tanaman tembakau dilahan miring. (Dokumen Pribadi)

Tungguk Tembakau adalah ritual memetik daun  dilahan untuk kali pertama sebelum dipanen, sebagai ujud syukur pada Sang Pencipta Alam Semesta atas berkah yang telah diguyurkan. Dulunya, tiap petani melakukan ritual sendiri-sendiri. Tapi berkembangnya jaman, kearifan lokal tersebut dikemas sebagai ajang budaya oleh beberapa inisiator. Lapangan dan sawah yang habis panen jadi tempat menjemur tembakau. Karena sering bersua, si bapak dan petani gunung umumnya jadi akrab dengan penduduk bawah. Biasanya mereka akan membawa sayuran sebagai ujud terimakasih telah diperbolehkan menjemur tembakau ditempat mereka.

"Hidup itu wang sinawang, nggih mas?", Ucap si bapak.
Saya menyimak perkataannya. "Orang kota(bawah) itu mengatakan jadi petani enak. Padahal saya merasa sebaliknya, orang kota itu enak hidupnya. Ternyata setelah saya renungi, kuncinya adalah bersyukur"

Lahan peladangan di sekitaran Bukit Kinasih. (Dokumen Pribadi)
Lahan peladangan di sekitaran Bukit Kinasih. (Dokumen Pribadi)

Semilir angin sangat terasa menepuk-nepuk bagian tubuh yang tak terlindung. Telinga, wajah, batang leher diseduh putaran Bayu. Sejuk nian tanpa polesan.
"Apapun profesinya yang penting ditekuni dan bertanggungjawab serta tidak merugikan liyan", sambungnya. "Lha motoripun pundi, mas?". Saya ceritakan tentang perjuangan kami mengunjungi tempat ini. Senyum kecil menghias wajah pria berkulit coklat itu.
"Wonten mriki aman, mas. Kasus pencurian motor nihil", katanya, "Benten kaliyan kutho, maling kok kathah sanget. Padahal, Urip niku sing dipadosi nopo nggih? Ujung-ujungipun mlebet penjaran"

img-20230708-wa0029-64a98be108a8b52fce0158e2.jpg
img-20230708-wa0029-64a98be108a8b52fce0158e2.jpg
Tuk Singit menjadi sumber air yang dialirkan lewat pipa.(Dokumen Pribadi)

Saya masih menyimak setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Sak Jane, panggonan mriki niki sae, mas. Namun dalanipun ngayang. Kadose tiyang kutho ajeng teng mriki aras-arasen ". Ngayang itu istilah Jawa yang artinya tidak menyentuh tanah/mumbul(sedikit terbang tinggi beberapa senti).

Dialog kami akhirnya terputus karena air telah memenuhi jirigen. "Menawi bade pipis menopo butuh tuyo, teng mriki"(jika mau kencing atau butuh air, disini tempatnya). Nantinya kami akan menggunakan fasilitas ini untuk ambil air wudhu. Jangan ditanya, airnya sungguh dingin.
Si bapak melanjutkan pekerjaannya sedang saya bersama ponakan menjelajahi sudut-sudut Bukit Kinasih. Kinasih dalam bahasa Jawa artinya Yang disayangi/dicintai. Harapannya, tempat ini dijaga dengan sayang dan cinta agar terawat sempurna.

"Dhe, bariki neng ndi?". Akmal mengunyah cemilan. Gerahamnya tak berhenti meremukkan kudapan.
"Kita ke Selo bagaimana?" Dia setuju. Tapi itu artinya saya menjilat ludah sendiri. Padahal diawal, saya nggak akan merambah tempat itu. Berhubung dirinya belum tahu ya, apa boleh buat.

Gubuk buat istirahat pengunjung. Sayangnya, beberapa bagian lapuk. Seharusnya diperbaiki. (Dokumen Pribadi)
Gubuk buat istirahat pengunjung. Sayangnya, beberapa bagian lapuk. Seharusnya diperbaiki. (Dokumen Pribadi)

Usai sholat dhuhur(sebuah bangunan kayu menjadi ruang sujud) kami turun mengikuti anjuran bapak petani, "Lepas cor-coran sampai habis, ada jalan aspal belok kanan. Ikuti saja"

Dikepala saya sudah terpatri bukit Cilenguk menjadi jujugan berikutnya. Ini sebenarnya random. Kawasan Selo terkenal dengan puluhan destinasi wisata. Memilih yang terbaik serta terbagus juga tidak gampang. Jalan tengahnya, ya datangi satu-satu.

(Dokumen Pribadi)
(Dokumen Pribadi)

Nama Cilenguk cukup menyita pikiran saya. Apakah ada kesalahan dalam penulisan? Bukankah seharusnya Celinguk(istilah Jawa). Lengkapnya celingak celinguk. Itu kondisi dimana kepala ditolehkan ke kanan dan ke kiri. Bahkan sampai memutarkan badan hingga belakang. Seperti ada sesuatu yang dicari. Mata sedikit di jelalatkan(coba kalian praktekkan adegan tersebut).

Destinasi ini sejatinya merupakan hamparan tanah yang tidak begitu luas. Letaknya di pinggir jalan masuk dusun Tritis dengan coretan sejarah atas nama Pakubuwono X(berkuasa dari 30 Maret 1893 hingga 20 Februari 1939). Jadi ceritanya, dulu Raja Karaton Surakarta ini gemar healing. Satu diantara banyak tempat yang beliau jelajahi adalah bukit ini. Konon, Susuhunan Pakubuwono X dibuat terpesona oleh keelokan tempat tersebut. Lokasinya pas banget berhadapan dengan gunung Merapi. Dengan menaiki kuda kesayangannya, Sampeyan nDalem menikmati denyut muram kabut pegunungan, gesekan dedaunan, ocehan binatang hutan, dengung sayap serangga, berlama-lama meresapi ciptaan Tuhan, kontemplasi, menyesap hal-hal tak kasat mata dengan batiniah.

Satu sudut di Bukit Cilenguk. (Dokumen Pribadi)
Satu sudut di Bukit Cilenguk. (Dokumen Pribadi)

Apa yang dilakukan Kanjeng Susuhunan istilahnya adalah taddabur alam. Alam layaknya ayat-ayat yang penuh ilmu pengetahuan. Jaman dulu, belajar dari alam sangatlah diajurkan oleh para ulama. Segaris dengan pemikiran Seyyed Hossein Nasr, seorang intelektual Islam kelahiran Iran; Alam diatur bukan oleh manusia, terlepas dari klaimnya, tetapi oleh Tuhan. Namun diberikan kepada manusia supaya bertindak layaknya jembatan antara langit dan bumi sebagai saluran rahmat dan terang bagi tatanan alam.

Tempat dimana beliau menyandarkan tubuh menjadi tetenger/petilasan. Penduduk dusun merawat petilasan dengan membersihkan serta memberi sesaji pada hari-hari tertentu. Makanya obyek wisata ini dinamai 'Bukit Cilenguk(Celinguk) PB X'. Sebuah bangunan dengan ukuran 2,5 meter persegi menjadi peneduh jejak sang Sampeyan nDalem.

Inilah petilasan dari Susuhunan Pakubuwono X. (Dokumen Pribadi)
Inilah petilasan dari Susuhunan Pakubuwono X. (Dokumen Pribadi)

Di Cilenguk(celinguk), hanya satu pengunjung yang kami dapati. Namun beberapa menit kemudian datang dua motor lagi yang parkir berdampingan. Kebisingan akan datang tanpa diprediksi. Lalu lalang warga padukuhan menaiki bebek besi janganlah membuat kita terusik. Sebagai pendatang, sopan santun harus diterapkan.
Sosok Merapi sangat jelas dari titik pijak kami. Itu kalau kabut sedang mager(malas gerak). Kalau pas blayangan ya putih semua. Seperti saat kami datang. Merapi hanya terlihat kakinya. Puncaknya terkukung kabut. Dan kabut itu pelan-pelan mendekat penuh arogansi.


"Dhe, kabute midhuk"
"Wesben, paling mengko munggah meneh"
"Hawane adem, Dhe"
Kondisi pegunungan ya begini. Kabut muncul karena kelembaban serta suhu  udara hangat bergumul dengan udara yang lebih dingin.
Semakin sore rasa dingin menyepak kulit.
"Mulihe kapan, Dhe?"
"Bariki nek wes adhan Azar"

Sesaji yang telah mengering. Hanya tersisa sebutir telur. (Dokumen Pribadi)
Sesaji yang telah mengering. Hanya tersisa sebutir telur. (Dokumen Pribadi)

Saya membuat kesepakatan, nanti kalau panggilan sholat datang, kami
turun sekalian mencari masjid di sekitaran Simpang PB IX. Akmal asik menikmati kudapannya, padahal tadi bilang sudah kenyang. Logistik kami sangat berguna manakala dingin merebak. Kondisi dingin membuat perut keroncongan. Jadilah kami berpesta di atas bukit Cilenguk. Kami nikmati hari itu dengan rasa syukur[]

NB:

Tak ada tiket masuk di tempat yang kami kunjungi. Hanya senyum keramahan serta adab yang perlu disiapkan sebagai tiketnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun