"Sebenarnya tempat ini awalnya tempat pembibitan benih", kata bapak berkulit sawo matang. Sesekali tangan dan bibirnya melakukan kolaborasi; rokok tingwe(nglinting dewe) menyemburkan gumpalan asap kecil.
Dialog unggah ungguh khas masyarakat Jawa berputar sebagaimana mestinya. Kami bercerita tentang beberapa hal, mengelupasi berbagai topik ringan. Dari penuturan bapak petani, saya jadi mengetahui bahwa obyek wisata ini yang memberi nama adalah Ganjar Pranowo(gubernur Jateng).
"Dulu Pak Ganjar pernah kemah disini dua hari", ujarnya
"Nopo nggih, pak?" Saya setengah tidak percaya, "Niku tahun pinten, pak?"
"Saestu", yakinnya, "Menawi mboten klintu, Pak Ganjar niku wonten mriki sekitar limangtaun kepungkur. Ngagem Tendo ageng". Si Bapak melanjutkan, "Melihat potensi serta keinginan warga dusun, akhirnya lokasi ini dikembangkan jadi obyek wisata"
"Kok sepi ya?"
"Ramainya hari Minggu", katanya, "Dua hari yang lalu, rombongan dari Salatiga kemah di sini"
"Oya?"
Bapaknya mengangguk sesekali meludah membuang rasa sepet. Tembakau yang dia sulut hasil tanam sendiri. Dari bibirnya terangkai narasi kisah hidup. Lulus dari Sekolah Kejuruan dia menikah dan mengabdikan diri total jadi petani. Mempunyai dua anak; yang pertama sudah bekerja di sebuah pabrik dan satunya masih sekolah di SMK. Tutur katanya mendayu sampai mengobralkan semua daya pikirnya.
"Saya punya beberapa lahan", kata pria dari Ngargosari, "Beberapa lahan Saya tanami tembakau, lainnya kentang, brokoli, sawi, daun bawang, tomat"
"Niku, pak?" telunjuk saya arahkan pada bentang didepan.
"Nggih, niku". Asap tembakaunya belum hilang. "Mase purun sayuran? Mangke Kulo petikke"
Saya menolak dengan halus, "Mboten sah, pak. Maturnuwun"
"Saestu, mas. Nopo sing dipuruni? Sawi? Brokoli? Daun bawang? Selada?"
Saya tetap menolak dengan sopan. Bapak itu(sayangnya, saya tidak menanyakan namanya)menawari saya sampai tiga kali. Waduh, baiknya si bapak.
"Kulo menawi mepe mbako(tembakau) dugi bandara(Adi Soemarmo). Nek boten teng Banyudono"
Kenapa sejauh itu? Ternyata, kondisi cuaca memaksanya harus turun gunung. Tembakau itu harus dijemur agar memenuhi kriteria pabrik. Sedangkan di Senden cuaca kerap mendung. Satu pick up bersama empat orang(termasuk sopir) dipenuhi rajangan tembakau dengan peralatan pendukung. Penduduk bawah maklum kalau petani gunung(Merbabu-Merapi) pasti akan turun pada bulan September, sehabis prosesi Tungguk Tembakau.Â
Tungguk Tembakau adalah ritual memetik daun  dilahan untuk kali pertama sebelum dipanen, sebagai ujud syukur pada Sang Pencipta Alam Semesta atas berkah yang telah diguyurkan. Dulunya, tiap petani melakukan ritual sendiri-sendiri. Tapi berkembangnya jaman, kearifan lokal tersebut dikemas sebagai ajang budaya oleh beberapa inisiator. Lapangan dan sawah yang habis panen jadi tempat menjemur tembakau. Karena sering bersua, si bapak dan petani gunung umumnya jadi akrab dengan penduduk bawah. Biasanya mereka akan membawa sayuran sebagai ujud terimakasih telah diperbolehkan menjemur tembakau ditempat mereka.
"Hidup itu wang sinawang, nggih mas?", Ucap si bapak.
Saya menyimak perkataannya. "Orang kota(bawah) itu mengatakan jadi petani enak. Padahal saya merasa sebaliknya, orang kota itu enak hidupnya. Ternyata setelah saya renungi, kuncinya adalah bersyukur"
Semilir angin sangat terasa menepuk-nepuk bagian tubuh yang tak terlindung. Telinga, wajah, batang leher diseduh putaran Bayu. Sejuk nian tanpa polesan.
"Apapun profesinya yang penting ditekuni dan bertanggungjawab serta tidak merugikan liyan", sambungnya. "Lha motoripun pundi, mas?". Saya ceritakan tentang perjuangan kami mengunjungi tempat ini. Senyum kecil menghias wajah pria berkulit coklat itu.
"Wonten mriki aman, mas. Kasus pencurian motor nihil", katanya, "Benten kaliyan kutho, maling kok kathah sanget. Padahal, Urip niku sing dipadosi nopo nggih? Ujung-ujungipun mlebet penjaran"
Saya masih menyimak setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Sak Jane, panggonan mriki niki sae, mas. Namun dalanipun ngayang. Kadose tiyang kutho ajeng teng mriki aras-arasen ". Ngayang itu istilah Jawa yang artinya tidak menyentuh tanah/mumbul(sedikit terbang tinggi beberapa senti).
Dialog kami akhirnya terputus karena air telah memenuhi jirigen. "Menawi bade pipis menopo butuh tuyo, teng mriki"(jika mau kencing atau butuh air, disini tempatnya). Nantinya kami akan menggunakan fasilitas ini untuk ambil air wudhu. Jangan ditanya, airnya sungguh dingin.
Si bapak melanjutkan pekerjaannya sedang saya bersama ponakan menjelajahi sudut-sudut Bukit Kinasih. Kinasih dalam bahasa Jawa artinya Yang disayangi/dicintai. Harapannya, tempat ini dijaga dengan sayang dan cinta agar terawat sempurna.