Kelincahan menaklukan jalan desa berkemiringan diatas normal menuntut konsentrasi dipertebal. Saya sudah wanti-wanti pada Rabbani Amrul Akmal Wisanggeni(RAAW) kalau nanti batas kekuatan motor dalam menekuk tanjakan habis, harus sigap melompat. Dan benar adanya, setelah meliuk-liuk menantang brutalnya jalan, akhirnya saya menyerah. Motor setelan kota dipaksa bertekuk lutut dihadapan liukan tajam nan menanjak. Tapi kok warga desa kalem saja menaiki motor dengan limpahan barang dibelakang? Jangan salah, bos. Motor mereka di setel untuk jalan pegunungan. Seperti yang dibilang seorang petani, "Motor Kulo kiat amargi wonten bengkel dipun setel damel pagawean ing gunung".
Dan kebanyakan motor mereka berjenis bebek atau koplingan. Yang sering dipakai gigi satu dan dua. Gigi tiga dan empat jarang digunakan. Lha kita, pakai motor tanpa gigi, alias ompong!
Saya berhentikan pada sisi kanan ladang tembakau. Memaksa bukan tindakan bijak. Saya parkir dengan mengganjal ban belakang pakai batu.
Selanjutnya jalan kaki sejauh kurang lebih 300 meter. Hawa sejuk menggulung tanpa pamrih. Bukit-bukit dengan jalan berkelok naik  kami lahap walau kadang harus berhenti sejenak. Pada sebuah tikungan berjumpa petani sepuh yang masih gagah perkasa, tegap sentosa, bagas waras. Sapa mengembang dengan senyum merekah. Menyimpul sejenak sembari menanyakan seberapa meter lagi jarak ke Bukit Kinasih.
"Namung celak, mas" kata petani sepuh , "Mriku mawon" Pandangannya mengarah ke atas. Sebilah arit terpegang sopan menghadap tanah.
Melangkah lagi tanpa ketergesaan. Karena tergesa-gesa tiada guna. Napas berkali-kali minta toleransi.
Dari jauh gerbang kayu bertulis Bukit Kinasih menancap tegak. Kanan kiri ladang dengan kemiringan hingga mencapai 25 derajat dihiasi beraneka ragam tanaman; sawi, daun bawang, kol, daun selada, tembakau, cabe, tomat menempati lajur. Tertata rapi, hasil jalinan tangan-tangan petani.
Sampai dilokasi, menengok kembali ke belakang untuk melihat kondisi bawah. Dari kejauhan terlihat beberapa petani peladang tekun merawat tanamannya. Kehadiran kami sudah menyita perhatian.
Mengamati obyek wisata tersebut menimbulkan pertanyaan panjang. Apa yang terjadi pada tempat yang berada di ketinggian 1325 MDPL ini? Saya menangkap kesan, tempat ini bukan obyek wisata seperti yang saya harapkan. Bangunan pendukungnya terkesan tua nan lapuk. Keberadaan toilet lah yang paling mumpuni dengan limpahan air gunung Merbabu. Sumbernya dari tuk Singit, mata air rembesan dari sebuah tebing. Hamparan bentang vegetasi hutan yang tumbuh berkelompok menarik mata. Pohon-pohon berdiri dengan interval tertentu memenuhi bentang alam.
Jawaban akan pertanyaan yang mengapung terurai ketika bertemu seorang peladang, datang memacu motor dengan membawa jirigen warna biru. Lepaskan penat, sambil selonjoran beralas rumput kering serta guguran daun yang merangas membentang di area, sembari menunggu kucuran air dari pipa memenuhi jirigen. Parasnya mengingatkan saya pada mantan walikota Solo, pak Rudy kumis. Perbincangan kami mengemuka manakala saya menanyakan kondisi tempat itu.