Tanah miliknya dianggap luas, dirinya dilihat mampu(secara ekonomi) menjadi penyebab lelaki kelahiran 1962 gagal mendapatkan harapannya. Padahal tanahnya hanya menghasilkan pendapatan yang tidak seberapa. Harga yang didapat dari jualan hasil bumi sungguh minimalis. Kepandaian dalam tarik ulur napaslah yang menjadikannya masih bertahan hidup.Â
Ditambah dampak wabah Covid 19 selama dua tahun yang memukul periuk dapurnya. Pak Soekidjo menguraikan harga beberapa komoditas pertanian. Gaplek hanya laku Rp 1500/kilo. Gabah di hargai Rp. 4000/kilo. Kacang tanah; basah Rp. 6000/kilo, setengah kering Rp.10000/kilo, kering Rp.15000/kilo.
Sayangnya, hasil pertanian selalu dijual dalam bentuk mentah. Warga belum menaikkan nilai dengan mengolah menjadi barang siap jadi/ konsumsi. Bukankah kacang bisa dijadikan ampyang, sambel pecel? Singkong bisa dibuat opak, Romeo, keripik, balung kethek, tape? Yap benar. Namun penduduk dusun hanya membuat cemilan tersebut kala ada moment khusus, seperti lebaran, atau hajatan. Diluar itu tidak.
"Pak, apakah masih ada warga desa  yang  mengkonsumsi tiwul?"
"Tesih wonten, mas. Malah kathah ingkang remen", kata pak Soekidjo, "Tapi tidak semuanya, hanya orang-orang tertentu. Sekedar nostalgia karena dulu tiwul merupakan makanan utama kala masa susah"
Debur ombak tak berhenti menghajar batu karang kala perbincangan kami kian masif. Beberapa saat kemudian kami berpindah tempat pada jejeran batu karang berhampar pasir putih.Â
Dua buah kelapa muda disuguhkan pak Soekidjo dengan mahar sepuluh ribu rupiah perbutir. Kami berselonjor menempatkan diri senyaman mungkin. Beberapa kepompong(hewan bercangkang) mendekat kearah kami. Bergerak-gerak tak peduli. Seakan kami tak punya arti.Â
Binatang laut ini telah lama menjadi incaran para pemburu untuk dijual ke sekolah-sekolah dasar atau pasar hewan khusus menjual ikan hias. Belum terdegradasinya lingkungan alam menjadikan wilayah itu menjadi habitat bagus bagi beberapa binatang, seperti landak, munyuk(kera), ular, burung hantu(dares, ceguk), kutilang, derkuku, tupai.Â
Lewat bahu, pandanganku tersita gerakan seekor burung laut yang berbulu putih. Terbang jungkir balik menjejakkan cakar diantara pucuk-pucuk ombak.Â
Hantaman gelombang menyemarakkan nyanyian alam. Langit menambahi kebugaran dengan tampilan cerah. Nantinya-sekitar dua jam kedepan-perubahan dratis menjerat. Awan berubah kelabu nyaris hitam, bergerak pelan mengincar posisiku, menjadi hujan deras yang memaksa kami tunggang langgang menjauhi bibir pantai.