Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopat

21 Januari 2022   14:24 Diperbarui: 21 Januari 2022   14:26 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 "Sin, Tolong pinjemkan uang 500 ribu ke Netty. Bulan depan aku lunasi". Pesan Whatsapp dari Kopat mengguncang kedamaian pagi. "Buat sangu njagong ponakanku ke Pringkuku". Lancang bener si Kopat ini, pikirku. Berani-beraninya ia menyuruhku untuk pinjam uang ke adikku. Sedangkan aku saja tidak pernah sekalipun tebersit nembung pinjam.

"Saya tanyakan dulu. Tapi jangan berharap sangat". Aku tak mau mengganggu kehidupan Netty. Tak elok.

"Adanya 300 ribu. Bagaimana?". Balasan aku kirim hanya berjarak satu hari. Sebenarnya, ini uangku. Tapi seolah-olah dari Netty.

"Ya tidak apa-apa. Pokoknya bulan depan aku lunasi".

Sialan! Padahal harapanku, ia tidak mau kalau tidak utuh 500 ribu.

Janji Kopat tersimpan dalam aplikasi. Screenshot menjadi bukti. Hari berjalan  menuju satu bulan pertama seperti yang Kopat janjikan. Aku berharap 300 ribu  tergenggam kembali. 

Bukan apa-apa, dompetku menggelambir, darurat diisi. Aku kembali berhitung: sehari, dua hari, tiga hari sampai mencapai bulan ke dua. Kopat tidak nampak batang hidungnya. Ada apa dengannya? Ruang harapanku masih luas. Mungkin dia belum sempat saja.

***

Kopat adalah tetanggaku. Dia itu tidak ada istimewanya. Masa kecilnya culun. Kerap menjadi sasaran perundungan. Sengsara jubah kebesaran, duka lara tali pengikat hidupnya. Ketika lulus SMA, aku terputus kabar tentangnya. 

Seperti laron beterbangan, kami mengembara ke segala kota demi remahan rupiah. Pulang merantau, aku menetap di rumah warisan orangtua. Hubunganku dengan Kopat terjalin lagi. 

Kegiatan kampung menjadi ajang rendezvous. Yang dulu pergi, beberapa diantaranya kembali kesarang: Ada yang di PHK, pindah kerja, buka usaha, dan seterusnya. Rentang waktu panjang membungkus apapun perilaku manusia. Begitupun dengan Kopat. Kedekatanku menyisir selapis demi selapis kelakuan Kopat.

"Andai aku ajak ke Pacitan, mau?"

"Nggak"

"Kenapa?"

"Hari ini jatahku menjemput Dita"

"Kan pulang sekolahnya pukul 15.30 wib?". Gila! Darimana dia tahu? "Sebentar, kok. Hanya bertemu paklik langsung pulang"

"Beneran?", tanyaku memastikan. Kopat mengangguk. Sebenarnya, jawaban yang ia katakan menyiratkan keraguan. Aku kenal betul karakter orang-orang desa secara umum. Kalau tamu datang dari jauh pasti akan disambut dan disuruh mencicipi apapun yang mereka hidangkan. Bercerita panjang merupakan kebiasaan sebagai bentuk penghormatan. Jadi, kalau hanya sebentar, itu sebuah kejahatan silaturahmi. Kopat mengajakku karena tahu hobiku touring.

Solo-Pacitan(tepatnya sebuah desa di tugu perbatasan Jateng-Jatim) butuh waktu tempuh dua sampai dua setengah jam, tergantung kondisi motor serta ketangkasan si pengendara. 

Berangkatlah kami. Isi kepalaku sudah menulis rencana dasar. Kalau benar hanya sebentar, ponakanku akan aku jemput sesuai jadwal. Sayang, Kopat membuat apa yang aku rencanakan  berantakan. Manusia brengsek ini ngobrol sama pakliknya mirip orang mabuk kecubung. Kode-kode yang aku kibarkan tidak digubris. 

Sampai kedua kaki kami bergumul: saling sepak, menggencet dikolong meja. Sorot mataku tersiram kecemasan: putaran jarum jam terasa begitu cepat. 

Dia sudah lupa daratan. Hingga aku inisiatif pamit. Pakliknya kaget, "Lho mas. Harusnya yang pamit itu Kopat. Bukan sampeyan. Dia yang berhak untuk pamit". Aku beralasan ada acara lanjutan. "Kalau ada acara tidak usah kesini. Lagi enak-enak ngobrol je". Omongan pakliknya sengak. Aku tersengat marah.

Apa yang aku kuatirkan terbukti. Walaupun putaran gas motor sudah menyentuh level ngebut, bahkan sampai biyayakan, aku gagal mencapai limit. Dita terlambat aku sambangi. Bocah itu protes sampai matanya berkaca-kaca. Pesannya jelas, ia ketakutan. Sekolahnya sudah sepi. Pintu gerbang terbuka seperempat. Untung ada mbok bon-pemilik kantin-yang menemani.

"Sin! Kamu itu kok tega ya sama ponakan!". Kakakku marah hingga kepalanya berasap. Aku dirujak habis-habisan. "Kalau terjadi apa-apa bagaimana!" Aku pasrah, mengaku salah.

Lucunya, tersiar kabar, kalau aku yang mengajak Kopat ke Pacitan. Bangsat!

Racikan bumbunya menumpuk dan tambah sedap.

"Yang namanya mengajak, harus tanggungjawab". Suara-suara sengau gentayangan memenuhi langit kampung. "Harus keluar uang. Bukan yang diajak yang bayarin". Padahal kenyataannya, selembar uang merah aku cabut dari himpunannya. Namun Kopat mendahului.

"Biar aku saja". Kopat menyodorkan lembaran lima puluh ribu  ke petugas SPBU. Mampir ke swalayan gantian aku yang bayarin beli minuman serta makanan.

Semenjak pulang dari perantauan, hal-hal beginian menimpaku. Dan Kopat biang keladinya.

Kepala Kopat muncul dari balik tembok pemisah antara kediamanku dengan rumahnya. Bunyi lidi menyisir tanah ternyata menarik perhatian.

 "Sin"

Suaranya mengetuk cuping .

"Apa?". Kepalaku mendongak menatap tempurung Kopat yang mirip Kim Lun Hoat'ong(Hakim Roda Emas), mengkilap, hingga setitik cahaya memantul menusuk mataku. Gagang sapu kuputar-putar menunggu reaksinya.

"Minta tolong antarkan ke Karangdumpil, rumah Sobrah". Aku kenal Sobrah, dulu banget sebelum merantau. Sekarang ia punya usaha ayam goreng. Dengar-dengar usahanya berkembang baik.

"Aku rampungkan pekerjaan dulu. Jangan lupa bawa jas hujan". Mataku menatap langit selatan. Gelap memulasi bentangnya. Awan menggumpal bergulung-gulung, jelas mengkuatirkan. Desiran angin dingin sudah duluan menyapa, menjilati kulit sekujuran. Melewatinya sudah bisa dipastikan cairan langit akan menggempur kami.

"Tidak usah. Nggak akan hujan"

"Lihat!". Telunjukku membimbing matanya menuju arah itu. "Prepare...", saranku.

"Percayalah. Gelap akan sirna". Raut sinisnya menampar diriku. Terserah kamulah. 

Benar saja, baru merayap tiga kilometer guyuran tebal menghantam aspal jalan. Motorku pongah melaju. Untung dari awal aku sudah pakai jas perlindungan. Kopat blingsatan. Motor melambat. 

"Terus saja! Nggak usah berhenti". Dia bersikeras agar aku tetap pada tujuan. Pikiran warasku membungkam sarannya. Sebuah toko jadi shelter. Kondisi  Kopat kadung mengenaskan: njedindil, kaosnya menyesap air hingga menampilkan lekuk tubuh. Sembur angin membuatnya menggigil, gigi gemelutuk mirip mesin perontok padi. Sokor.... Kapokmu kapan, batinku. Langit memuntahkan amarahnya tanpa tedeng aling-aling.

"Kamu itu lho, bukan pawang hujan bukan  dukun", seruku, "Kalau sudah begini bagaimana?". Matanya plerak-plerok, bersungut-sungut. "Ngeyelmu menyusahkan banyak orang". Kedongkolanku memuncak. Aku putar balik, pulang.

Akibat kekonyolannya, tubuhnya terajam lara teronggok diranjang. Berhari-hari suhu badannya panas dingin, muntah-muntah bersama berak berlendir. Lagi-lagi suara sumbang menggema: sejak pulang dari perantauan, Husin selalu bikin masalah, Kopat selalu jadi korban. Dampaknya terasa, jika kumpul dipos ronda atau arisan RT bisik sindir ketidaksenangan terpancar dari muka-muka warga kampung.

***

Kopat cerita, dia dulu pernah kerja ditoko roti di kawasan kota. Pemiliknya adalah Nyonya Hun, terkenal tegas bahkan cenderung galak. Karyawannya akan didamprat bila kerja menyimpang dari Standard Operating Procedure (SOP). 

Banyak orang menganggap, kalau kerja ditoko Nyonya Hun pasti kenyang akan jejalan macam roti. Padahal salah. Kalau mau mencicipi ya harus beli. Tapi Kopat berhasil menjalin  konspirasi dengan salah satu chef: bagaimana caranya agar bisa mencicipi roti racikan si nyonya galak tanpa mengeluarkan uang, tanpa diketahui serta tidak menimbulkan kegaduhan? 

Sungguh berat, karena CCTV terpasang dibeberapa sudut dengan posisi licik, mampu menjungkir balikkan kelakuan para maling. Selain itu, takaran yang diolah sudah dihitung secara njelimet, berapa roti yang akan dihasilkan dari satu karung tepung terigu. Jadi, Nyonya Hun sudah kawakan kalau masalah beginian. Dia tidak bisa dikadali. Benarkah?

"Kami cuil sedikit demi sedikit dari tiap adonan yang akan dijadikan roti. Sampai terkumpul menjadi segenggam", kata Kopat. "Keluar dari oven, dilentingkan pada wadah khusus yang telah kami samarkan. Dari situlah  kami mencicipi kelezatan roti tersebut", ungkapnya tertawa bangga. "Kamar mandi tempat paling aman untuk mengunyah jarahan".

Tapi, sebuah tindakan gegabah menjadikan Kopat di maki habis-habisan oleh Nyonya Hun. Dia tepergok menjumput tepung, kemudian diterbangkan mirip penari balet. Hukuman membersihkan toilet harus diterima Kopat. Tapi tindakan itu justru menjadi prahara bagi Nyonya Hun. Dia sakit keras. Mulutnya membusuk sampai harus dilarikan ke rumah sakit.

"Sikat giginya aku jadikan untuk menggosok toilet", kata Kopat tanpa rasa bersalah. "Dia tidak tahu kalau kuman-kuman dari pemakai toilet menggasak mulutnya. Itu aku lakukan berkali-kali". Ceritanya membuat aku merinding membayangkan sikat gigi itu. Kopat memang bajingan tengik.

Tapi Tuhan Maha Adil, beberapa waktu kemudian Kopat menderita sakit parah, sampai masuk IGD. Teman-temannya urunan untuk meringankan beban sebagai bentuk solidaritas. Menurut keluarganya, lambung serta paru-parunya digerogoti kuman paling ganas. Dari foto yang tersebar, terlihat kondisi Kopat sungguh mengenaskan. 

Tubuhnya kurus kering tinggal kulit, mirip jerangkong. Wajahnya hitam mengerak, terlihat tua. Pipinya cekung, bawah mata tersapu garis pekat mirip penghuni kamp konsentrasi Auschwitz. 

Dampak obat-obatan yang diinjeksikan merusak jaringan kulit. Timbul bercak-bercak hitam sebesar kacang tholo disekujur tubuh, terutama wajah. Butuh keajaiban agar Kopat sembuh. Bahkan rumornya, dia sudah pasrah. Ia merasa malaikat pencabut nyawa nongkrong dikepalanya.

"Karma berbicara. Kelakuanmu pada Nyonya Hun dibalas", batinku trenyuh.

Ternyata Tuhan memberi kesempatan kedua. Penyakitnya terangkat, tubuhnya bugar seperti semula. Tapi sayang, otaknya jadi terbalik. Perilakunya aneh serta membingungkan: kalau ngomong pahpoh-tak mikir apa akibat bagi diri serta orang lain, janggal, hingga memalukan. 

Seperti masalah pinjaman pada Netty. Tanpa pakewuh dan menampilkan kepercayaan diri setangguh gunung batu, dia ngomong, "Sin, Netty bilang, kalau uangnya tidak usah dikembalikan". Aku melongo. Darahku mendidih. Manusia terkutuk ini memang layak digampar.

"O....begitu ya? Kapan ketemu Netty", tanyaku pura-pura bodoh. Rahangku berkedut.

"Dua hari yang lalu. Lewat Whatsapp". Hakim Roda Emas ini mengumbar kebohongan masif. Seutas senyum masih sempat ia selipkan. "Netty memang baik. Beruntung kamu punya adik seperti dia"

Ndasmu!, batinku. Netty sudah aku beritahu kronologis hal ihwal pinjaman itu. Ia malah terbahak-bahak. "Kopat pemain watak paling brillian", ujar Netty. Sisa tawanya tertutup tangan.

Apakah aku bongkar kelicikannya sekarang? Kelakuannya sungguh mengganggu. Tapi aku tidak tega. Wajah cembungnya menyiratkan belas kasihan. Itulah titik lemahmu yang dimanfaatkan Kopat. Kamu tipe nggak tegaan.

Kopat itu lamis. Banyak warga kampung bebal sehingga mudah terbuai. Retorikanya empuk, mampu mengecoh siapapun. Tapi tidak buatku dan.... Sobrah.

"Kabar Kopat bagaimana, Sin?". Aku bertemu Sobrah di pasar Notohardjo. Dia usai mengambil ayam potong pada langganannya. Tumpukan daging menumpuk dibelakang bak mobil dalam kabinet plastik.

"Ya begitulah". Aku ceritakan segala yang pernah menimpaku selama berhubungan dengan Kopat. "Sabar saja", kata Sobrah. Dari dia aku kian yakin kalau Kopat manusia terkutuk.

"Sampaikan salamku pada istrimu. Dan mohon katakan, kalau kelakuan Kopat tidak ada hubungannya denganku", kataku.

"Istriku paham. Sudah aku beritahu. Tenang saja", kata Sobrah.

Jadi begini, beberapa kali aku diajak ke warungnya Sobrah, ternyata Kopat memanfaatkan pertemanan guna manipulasi alias tidak bayar.

"Sobrah kawanku paling kental, mbak. Dulu satu kerjaan di usaha sablon kaos". Dari bilik warung, percakapan itu menyentil telingaku. Kopat mencoba melakukan intimidasi. "Sobrah nggak akan mempermasalahkan. Percaya deh".

Tidak heran, istri Sobrah selalu menampilkan muka mbesengut setiap kali kami berkunjung. Aku malu. Penebusannya dengan cara membayar apa yang aku makan dilain waktu, lewat Sobrah tentunya.

Akhirnya aku memutuskan merantau kembali. Menjauhi Kopat, menutup hubungan dengan segala hal berbau kampung sebagai dampak tercemarnya reputasiku oleh kelakuannya.

***

"Untung Husin sudah minggat". Kopat menggosok-gosok telapak tangannya. Ada rona kebahagiaan pada kalimat yang ia ucapkan. "Berkali-kali aku disudutkan". Gigi Kopat mengunyah mentimun berpadu sambal matah. Butiran keringat bertimbulan dilingkar kepalanya. "Dia pinjam duit kamu, berapa? Brah".

Yang ditanya hanya tersenyum kecut. Sedang isterinya mbesengut sambil ngulek sambal.

Tanpa aku ketahui, ternyata Kopat telah lama menjelma menjadi Sengkuni. Mulutnya berbisa. Pantas saja, segala titahnya di amini. Hebat kamu, bangsat!.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun