Aku mengangguk. Kuceritakan alasanku. Anak muda itu manggut-manggut, entah apa dalam pikirannya.
Obrolan kami tanpa terasa telah memakan waktu lama. Andreas pamit pulang. Sebelumnya minta nomer HP dan foto diriku,"Biar ayah tahu kalau anaknya telah menemukan sosok mantan muridnya". Aku hanya sunggingkan senyum.
Aku memaksa akan mengantarkan dirinya. Awalnya menolak. Tapi kegigihanku meluluhlantakkan daya tolaknya.
Diperjalanan menuju stasiun Balapan kami menyambung obrolan yang ringan. "Baru kali ini saya ke kota ini, pak. Sepertinya nyaman untuk ditinggali?"
Aku jelaskan pada Andreas, kenyamanan itu hakekatnya terbentuk dari hati. Aku ceritakan mengenai kota ini yang mulai ditimpa kemacetan di beberapa ruas jalan,"Memang tidak separah Jakarta, Ndre" Â
Dipintu masuk stasiun anak muda itu mengucapkan rasa terimakasihnya. "Kalau sampai rumah hubungi saya. Saya ingin video call sama ayahmu"
Ia mengangguk dan berjalan memasuki pintu stasiun.
Malam-malam selanjutnya kayuhan sepedaku semakin memperpanjang jarak. Hampir setengah kota terjajah. Beberapa warung Hik aku pergoki nekat buka. Mereka melawan maklumat kapolri. "Kalau tidak jualan, pundi-pundi kami akan mengering, mas"
"Bapak tidak takut tertular? Wabah ini ganas lho, pak"
"Saya pasrah saja. Yang penting social distancing saya terapkan, diantaranya, saya anjurkan pembeli membungkus makanannya dan dibawa pulang"
"Kalau ada yang ngeyel?"