Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gowes, Drama Perjalanan Antara Semangat dan Nafsu

18 Februari 2020   16:43 Diperbarui: 18 Februari 2020   16:40 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Gempa Bumi 2006 Sawit Boyolali, dipandang dari jauh. (dokumen pribadi)


Bila pinggang tidak diserang rasa nyeri, mungkin saya tidak akan ngonthel(gowes) lagi. Sebulan yang lalu, tepatnya pertengahan Januari, pinggang sebelah kiri saya terasa senut-senut(nyeri). Kalau mau berdiri harus pelan-pelan. Mengendap selama tiga hari kemudian pindah ke pinggang sebelah kanan. Apaan sih?! Apakah otot tertarik? Serabutan ruwet? Memang, saya tipe manusia yang bukan sering olahraga, dalam bentuk lari, renang, sepakbola atau jenis lainnya. 

Kalau jalan kaki iya. Mungkin karena asupan olahraganya kurang yang menyebabkan pinggang nyeri? Dulu bahkan pernah lebih parah. Ketika akan lepaskan badan dari kasur  tidak bisa. Mirip robocop-kaku. Tulang belakang dirajam sakit minta ampun. Dengan memposisikan badan miring baru berhasil naik, itupun dengan susah payah. 

Saya diam kan beberapa hari, tapi tidak hilang juga. Mencoba menirukan gerakan senam kesegaran jasmani(SKJ) belum menyembuhkan. Jelas menganggu keseharian. Iseng-iseng mencoba naik sepeda blusukan ke jalan-jalan kampung, ada perubahan sedikit. Nyeri berkurang. Tapi malamnya masih menyengat. Esuknya lagi diulangi. Berkurang lagi. Saya ambil kesimpulan, kalau begitu, perbanyak gowes agar nyeri pinggang hilang. Akhirnya aktivitas lama berulang kembali(ALBK). 

Istirahat di depan Masjid Cipto Mulyo Pengging-Boyolali. (dokumen pribadi)
Istirahat di depan Masjid Cipto Mulyo Pengging-Boyolali. (dokumen pribadi)
Bermodal sepeda MTB bekas milik ponakan-yang jarang dipakai ke sekolah-tertancaplah tekad untuk sepedaan lagi. Kali pertama tanpa tujuan pasti. Pokoknya pedal harus digenjot agar nyeri otot pinggang hilang. Masuk kampung keluar kampung, menghantam polisi tidur sambil menaikkan pantat, terobos kerumunan lalat yang mengerubungi bangkai tikus yang tergeletak ditengah jalan, menembus keramaian para pelintas jembatan dibatas kota. Badan berkeringat napas ngos-ngosan, mulut dibuka untuk menangkap oksigen sebanyak-banyaknya. Segar.....


Blusukan di alam desa-arah ke makam Handayaningrat ki Ageng Pengging.(dokumen pribadi)
Blusukan di alam desa-arah ke makam Handayaningrat ki Ageng Pengging.(dokumen pribadi)
Agar ngonthel lebih terarah, akhirnya dibuat jadwal. Setiap Sabtu pagi setelah sholat Subuh gowes keluar kota Solo, susuri kabupaten tetangga. Hari Sabtu saya ambil dengan pertimbangan, diantaranya banyak penggowes bermunculan pada hari itu. Iya, Soloraya sudah sekitar satu dasawarsa belakangan ini tumbuh kelompok-kelompok baru sepedaan atau individu (diatas itu memang sudah ada seperti komunitas PAIJO). Kerap mendapati mereka dengan segala alirannya, misal, aliran sepeda kebo(pit kebo), klan MTB, marga sepeda lipat, ada juga campuran diantara itu.

Bila diawal hanya jarak dekat-sekitar sepuluh kilometer PP(pergi pulang), selanjutnya langsung saya genjot 40-an KM Pergi Pulang. Arahnya adalah Pengging. Pengging merupakan wilayah dikabupaten Boyolali. Ditempat itu ada petilasan berupa pemandian yang dibangun oleh raja kraton Surakarta, Pakubuwono X serta beberapa umbul(mata air) dengan berbagai nama serta sebuah masjid(Cipto Mulyo) pun makam Raden Ngabehi Yosodipuro. 

Banyak penggowes memilih Pengging, dikarenakan jaraknya tidak terlalu jauh juga tempat istirahat serta kulinernya beragam. Jadi, para penggowes dari berbagai penjuru mata angin, timur khususnya, diuntungkan dengan tempat itu.
Saya juga ikut jejak mereka. Tapi sedikit pengecualian. Jalur yang saya lalui sebisa mungkin tidak lewat jalan besar. Saya menelusuri rute pedesaan dipandu suara hati . Hari-hari selanjutnya wilayah lain saya satroni hingga sebuah niat gowes ke Klaten tersirat.

Boleh nampang, asal sopan-patung Raden Ngabehi Ronggowarsito, desa Palar.(dokumen pribadi)
Boleh nampang, asal sopan-patung Raden Ngabehi Ronggowarsito, desa Palar.(dokumen pribadi)
Sabtu pagi, dengan style bebas merdeka, saya memulai aksi gowes. Sebuah destinasi sejarah akan saya datangi. Makam pujangga besar kraton Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ronggowarsito didaerah Palar kecamatan Trucuk kabupaten Klaten. Apakah kalian tahu secara detail tentang sosok Ronggowarsito? Beliau merupakan cucu Yosodipuro II, pujangga utama Kasunanan Surakarta. Bagoes Burham nama kecilnya. 

Pesona Raden Ngabehi Ronggowarsito bahkan sanggup memaksa Gus Dur menziarahi makamnya. Apa istimewanya? Mari kita cari. Oleh karena itu berbekal tekad serta membentengi otot pinggang supaya jauh dari serangan nyeri, terkayuhlah pedal sepeda MTB standar dengan beberapa karat mendesir ke selatan. 

Tanpa prasangka, hanya kegembiraan hati, melajulah saya dengan kepercayaan tinggi. Hari yang cerah sanggup mendikte suasana hati agar dinikmati. Kayuhan demi kayuhan menaburkan kekuatan melihat selubung alam pedesaan, suasana padukuhan.


Makam R.Ng.Ronggowarsito.(dokumen pribadi)
Makam R.Ng.Ronggowarsito.(dokumen pribadi)
Dengan ngonthel, saya bisa melihat secara dekat kesibukan dipersawahan, petani-petani menggerakkan traktornya membajak sawah, teriakan "Hok! EE!....Hok! EE!" untuk mengusir kawanan burung pencuri bulir padi menyalak panjang, penggembala bebek dengan kotak bambu besarnya siap melepaskan peliharaan ke bentangan sawah.

 Tidak secepat naik motor, gowes memaksa saya mendaur ulang batiniah. Berhenti beberapa kali untuk menghirup sepoi angin, kicauan burung, gemericik air saluran sawah, tepukan serangga dari atas pohon. Lewati beberapa pasar desa, menahan diri agar tidak terlalu cepat mengkayuh. Hangat mentari masih bisa ditoleransi-tiga jam yang akan datang saya akan merasakan cabikan perihnya. Puluhan jembatan terlewati menampakkan warna coklat bak kopi susu.

Patung dada Bagoes Burham alias R.Ng.Ronggowarsito. (dokumen pribadi)
Patung dada Bagoes Burham alias R.Ng.Ronggowarsito. (dokumen pribadi)
Setelah dua jam sampai juga pada lokasi tujuan. Memasuki pelataran dengan gerbang kecil melengkung. Turun dari sepeda, kaki sedikit goyah. Sepeda saya sandarkan pada dinding dibawah patung hitam sang pujangga besar terakhir pulau Jawa itu. 

Duduk beralas paving menjadi kenikmatan nyata. Seteguk dua teguk air mineral mengurangi dahaga pendek. Badan digerak-gerakkan kaki digoyang kanan kiri berharap otot pulih seperti sediakala. Membungkukkan badan mencari gemeretak tulang.

Mengamati lingkungan sekeliling. Pagi yang rupawan didesa Palar. Kembali duduk hanya untuk lengserkan kelelahan. Ada beberapa pengunjung sudah memasuki komplek. Usai menormalkan degup jantung dan hilangnya keringat, barulah saya masuk lebih ke dalam. Sepeda saya letakkan dibangunan khusus parkir. Seorang ibu tua mempersilahkan saya menuju harapan.

img-20200215-101623-compress94-5e4ba287d541df534b22ae32.jpg
img-20200215-101623-compress94-5e4ba287d541df534b22ae32.jpg
Pintu masuk makam R.Ng.Ronggowarsito. (dokumen pribadi)"As-salamu'allaikum...."
Tak ada jawaban, karena memang sepi. Pijakan alas sandal gunung pada permukaan tidak menghasilkan bunyi. Hingga di bangunan utama-tempat nisan Raden Ngabehi Ronggowarsito-pandangan disuguhi kekunoan.

Agar pengunjung nyaman, kebersihan lokasi ini dijaga dengan baik. Nampak seorang menyemprotkan cairan pembunuh jamur atau lumut di dinding -dinding makam serta pembatas. Dari belakang muncul seorang lelaki baya menanyakan temannya yang berasal dari Wonosobo pada bapak penyemprot jamur.

"Durung ono sing teko seko Wonosobo
"(belum ada yang datang dari Wonosobo)
"Lha iki WA ne kondo wes teko kat mau"(lha ini WA-nya bilang sudah sampai dari tadi)
"Durung, pak. onone cah enom loro lagi wae mulih"(belum, pak. Adanya anak muda dua tadi baru saja pulang)

Sepertinya kedua orang ini sudah saling mengenal. Lelaki itu masih bingung.
"Opo sing neng njero kae yo?"(apa yang ada didalam sana ya), ujar si penyemprot jamur, "Wong wedok loro karo wong lanang telu?"(dua perempuan sama tiga laki-laki)
"Ho'o, yo kuwi"(ya itu), tegas si lelaki
"Nek kuwi wes kat mau. Lagi neng njero karo juru kuncine"(kalau itu sudah dari tadi. Baru didalam sama juru kuncinya)
"O yowes, pak. Aku tak nunggu neng njobo"( o ya sudah, pak. Aku menunggu diluar saja). Si lelaki keluar komplek dan si penyemprot jamur melanjutkan aktivitasnya.

Hening kembali menguasai, sesekali kicau burung berderak. Langkah saya ayunkan dengan menapaki hamparan ubin. Saya seperti ditarik oleh pusaran waktu tempo doeloe.  Melihat kumpulan nisan berjejer rapi mengingatkan saya pada meriam-meriam  di benteng pertahanan. Berdiri tegak dengan pancaran akherat. Memberi ancaman agar selalu mengingat kematian.

Sebuah patung dada Raden Ngabehi Ronggowarsito tertanam disitu. Pengunjung akan mudah melihatnya dari pintu masuk. Pujangga besar ini terkenal dengan barisan syair macapatnya selain prosa. Diantaranya adalah tentang istilah jaman edan pada serat Kalatidha . "Iki jaman edan. Nek ora edan ora keduman. Tapi luwih becik sing eling lan waspodo"(ini jaman gila. Kalau tidak gila tidak kebagian. Tapi lebih bagus yang sadar dan waspada)

Menurut berbagai sumber, istilah jaman edan itu dibuat oleh Ronggowarsito manakala kolonial Belanda melontarkan program tanam paksa. Kebijakan itu membuat hidup kian berat. Harga-harga kebutuhan pokok masa itu tak terjangkau wong cilik. Rakyat kian kesrakat. Kelaparan melanda, terutama akar rumput. Beliau prihatin sekaligus kesal melihat kondisi tersebut. Bagi beberapa orang, istilah tersebut masih berlaku untuk setiap rezim yang menyengsarakan rakyatnya.

Pasar Kiringan desa Palar. (dokumen pribadi)
Pasar Kiringan desa Palar. (dokumen pribadi)
Sebuah plakat logam menarik perhatian saya. Dipasangkan ke nisan Carel Frederik Winter. Beliau ternyata murid sekaligus sahabat Ronggowarsito. Disitu tertulis: Punika pasareyanipun Carel Frederik Winter. Miyos ing Ngayogyakarta, surya kaping 5 Juli 1799. Seda ing Surakarta, surya kaping 14 Januari 1859. 

Nalika sugeng ngasta padamelan dados translateur/juru basa wonten ing kantor karesidenan Surakarta. Sekaliyan ingkang garwa: Jacoba Hendrika Logeman-seda: 1828. Kapindah dening para tresna Kasusastran Jawi saking Pasareyan Kerkop, ing Jebres-Surakarta, dateng Pasareyan Palar, surya kaping 30 Januari 1984 utawi tanggal kaping 21 Bakdomulud, Alip 1916 (Ini makamnya Carel Frederik Winter. Lahir di Yogyakarta tanggal 5 Juli 1799. Meninggal di Surakarta tanggal 14 Januari 1859. 

Semasa hidupnya bekerja sebagai penterjemah/juru bahasa di kantor Karesidenan Surakarta. Bersama dengan isterinya: Jacoba Hendrika Logeman, meninggal: 1928. Dipindah oleh para pecinta Kasusatraan Jawi dari pemakaman Kerkop di Jebres-Surakarta menuju pemakaman Palar pada tanggal 30 Januari 1984 atau tanggal 21 Bakdomulud, Alip 1916) .

Dibawahnya masih ada plat logam bertulis: Pambanguning pasareyanipun tuwan C.F.Winter punika awit saking bantuanipun Koninklijk Instituut Voor Taal_Land En Volkunde, Cabang Jakarta. Ing taun 1985 (pembangunan makam tuan CF.Winter ini atas bantuan Koninklijk Instituut Voor Taal_Land En Volkunde, cabang Jakarta di tahun 1985).

Cukup sudah saya berada dalam komplek. Segera keluar untuk segera pulang.
"Sampun, nak"(sudah, nak) suara ibu tua itu mengagetkan saya. Sebuah bangunan Joglo modern dengan keramik putih bercorak menjadi sarana beliau dengan seorang lelaki setengah tua beristirahat. Ibu itu dengan senyum ramah melanjutkan sapaannya, "Saking pundi, nak?"(darimana, nak)
"Saking Solo, bu"(dari Solo, bu), saya jawab sembari merendahkan posisi badan dengan jongkok-karena posisi si ibu duduk dilantai.

"Solo nipun pundi?"(Solo nya dimana). Beliau sepertinya tertarik dengan asal saya. Kok ada orang muda mau-maunya ziarah ke makam pujangga kelahiran 1802 Masehi, naik sepeda lagi. Mungkin perkiraan si ibu saya sedang melakukan laku prihatin-ada sesuatu yang sedang saya "raih".
"Rumiyin kulo inggih dangu wonten Solo, nak"(dulu saya juga lama di Solo, nak)
Saya sebutkan kampung saya. Si ibu bertambah antusias, "Kaliyan stanplat Gemblegan pundine? Ngertos namipun(ia menyebut nama perempuan), nak?"(sama stanplat Gemblegan letaknya dimana. Tahu namanya...., nak).

 Saya sekarang yang dibuat kaget. Kata 'stanplat' sudah jarang saya dengar. Orang jaman dulu seangkatan mbah dan ibu saya masih sering mengucapkan kosakata itu. Kalau sekarang disebut 'terminal'. Dengan sabar saya jelaskan lokasi itu dengan gamblang. Apakah si ibu tidak tahu kalau stanplat Gemblegan sudah musnah bertahun-tahun yang lalu? Sekarang tempat tersebut dikonversi jadi gerumbul ruko modern. Sudah ramai. Bahkan kalau menyeberang jalan harus kongkang kewaspadaan. 

Samar-samar ingatan saya dipaksa kembali ke 1977(umur 3 tahunan). Hiruk pikuk stanplat Gemblegan terangkat disamudra pikiran. Ditengah perempatannya ada bangunan melingkar rendah. Seorang gila menjadikan itu sebagai basecamp. Bemo, bus engkolan bersliweran bersama teriakan kernet. Kepulan asap jumpalitan mengisi ruang kosong.

Apakah si ibu itu sudah lama tidak ke Solo? Berapa usianya? Saya melihat ubannya bertimbulan bak kebun kapas di bentangan ladang. Si ibu ini selalu sunggingkan senyum pada setiap pengunjung. Apakah dia memang mengabdikan diri ditempat itu? Mengasingkan diri ditengah perubahan jaman? Agar tidak ikut "edan" dijaman yang sudah edan ini?
Pamit merupakan pamungkas saya pada si ibu. "Mugi-mugi sukses, nak", ujarnya.
"Inggih, bu"

Menuntun sepeda hingga keluar gerbang, menoleh sebentar ke belakang sebagai salam perpisahan.
Beberapa menit kedepan saya akan dibuat sedikit frustasi. Panasnya matahari menggerus kekuatan tubuh. Paha menegang, kulit tubuh yang tidak terlindung sengat mengkilat berkilau. Arah pulang memakai rute sama. Tugu 'Lurik Prasodjo' riuh rendah dihimpit kerumunan rakyat desa. Pergerakan ekonomi menggeliat ditempat ini. 

Mengamati mereka, menemukan rasa yang lama tidak singgah. Saya masih kuat, dan harus kuat. Dengus napas mulai panas, genggam jemari melepuh karena keseringan pindah gear mengatur speed. Model shifter sepeda yang saya pakai adalah diputar, tidak di sentil pakai jempol. Pikiran mulai dicemari jarak. Ini sangat berbahaya bagi psikologis. 28 KM harus saya tempuh kembali. Nantinya saya baru tahu, kalau hari ini saya telah gowes 57 KM, menghabiskan waktu 5 jam 16 menit(versi linimasa Google map).

Tata aturan bagi peziarah. (dokumen pribadi)
Tata aturan bagi peziarah. (dokumen pribadi)
Perjalanan pulang memaksa saya harus sering berhenti, gelontor air mineral ke tenggorokan. Berbagi jalan dengan body besar truk logistik atau pasir, sepeda motor, colt mengangkut tanah uruk dan ting..tong seorang penggowes memberi salam.

Inilah yang disebut napsu besar tenaga pas-pasan. Kondisi ini beberapa tahun yang lalu pernah saya alami. Tahun '97 an, gowes adalah aktivitas saya.  Karena kalau berangkat kerja kadang pakai sepeda-merek City Cat dan Federal(gantian)- atau jalan kaki. Pernah suatu hari gowes ke Jumapolo-Karanganyar yang medannya naik turun. Ditengah jalan dekat hutan kecil saya menyerah. Tenaga drop. Mau pulang awang-awangen. Pikiran saya malah ora nggenah, mau bermalam disitu, karena sudah ambyar tenaganya. Istirahat berjam-jam baru pulih, kemudian pulang dengan kepayahan bak prajurit kalah perang.


Taman Gajah Putih a.k.a Monumen Gempa Bumi 2006-Sawit Boyolali. (dokumen pribadi)
Taman Gajah Putih a.k.a Monumen Gempa Bumi 2006-Sawit Boyolali. (dokumen pribadi)
Hari ini saya mengulangi kekonyolan lagi? Ampun deh! Baru sebulan empat kali gowes, langsung disengkakke menempuh jarak jauh. Sebenarnya sebelum ke makam Ronggowarsito, saya telah gowes ke umbul Leses-Pengging dengan jarak 21 KM(PP 42 KM), Taman Gajah Putih-Cepokosawit, umbul Tirto Mulyo-Sawit berjarak 16,5 KM(PP 33 KM). Inginnya naik level ke lebih jauh. Tapi ini yang saya rasakan. Kelenger!

Monumen Gempa Bumi 2006 Sawit Boyolali, dipandang dari jauh. (dokumen pribadi)
Monumen Gempa Bumi 2006 Sawit Boyolali, dipandang dari jauh. (dokumen pribadi)
Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah. Beberapa pohon tegak berdiri, meliukkan dahannya seperti menyuruhku berpayung dibawahnya. Tanpa itupun, saya akan tetap berhenti disitu. Tarik napas panjang. Badan berdenyut semua, paling terasa dikening. Jangan sampai njebabah di perjalanan, ora lucu. Kenapa harus dipaksakan? Saya bukan Aiman Cahyadi atau Alberto Contador. 

Nikmati saja ngonthelmu. Berhenti yang cukup menimbulkan embun nyaman. Perjalanan masih jauh, arah mataku melihat kelipan cahaya motor dikejauhan. Disana akan saya lalui. Serangga kecil berloncatan diantara rerimbun padi. Beberapa petani beristirahat sambil menikmati bekal. Rupanya tengah hari menyergap.

Kembali bergerak pakai sistem stand kalem. Harus pinter-pinter mengolah rasa biar tidak cepat lelah. Terus kayuh pedalmu, kawan, agar tujuanmu tercapai. Karena hidup itu mirip mengkayuh sepeda.(Selesai)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun