Tidak secepat naik motor, gowes memaksa saya mendaur ulang batiniah. Berhenti beberapa kali untuk menghirup sepoi angin, kicauan burung, gemericik air saluran sawah, tepukan serangga dari atas pohon. Lewati beberapa pasar desa, menahan diri agar tidak terlalu cepat mengkayuh. Hangat mentari masih bisa ditoleransi-tiga jam yang akan datang saya akan merasakan cabikan perihnya. Puluhan jembatan terlewati menampakkan warna coklat bak kopi susu.
Setelah dua jam sampai juga pada lokasi tujuan. Memasuki pelataran dengan gerbang kecil melengkung. Turun dari sepeda, kaki sedikit goyah. Sepeda saya sandarkan pada dinding dibawah patung hitam sang pujangga besar terakhir pulau Jawa itu.
Duduk beralas paving menjadi kenikmatan nyata. Seteguk dua teguk air mineral mengurangi dahaga pendek. Badan digerak-gerakkan kaki digoyang kanan kiri berharap otot pulih seperti sediakala. Membungkukkan badan mencari gemeretak tulang.
Mengamati lingkungan sekeliling. Pagi yang rupawan didesa Palar. Kembali duduk hanya untuk lengserkan kelelahan. Ada beberapa pengunjung sudah memasuki komplek. Usai menormalkan degup jantung dan hilangnya keringat, barulah saya masuk lebih ke dalam. Sepeda saya letakkan dibangunan khusus parkir. Seorang ibu tua mempersilahkan saya menuju harapan.
Tak ada jawaban, karena memang sepi. Pijakan alas sandal gunung pada permukaan tidak menghasilkan bunyi. Hingga di bangunan utama-tempat nisan Raden Ngabehi Ronggowarsito-pandangan disuguhi kekunoan.
Agar pengunjung nyaman, kebersihan lokasi ini dijaga dengan baik. Nampak seorang menyemprotkan cairan pembunuh jamur atau lumut di dinding -dinding makam serta pembatas. Dari belakang muncul seorang lelaki baya menanyakan temannya yang berasal dari Wonosobo pada bapak penyemprot jamur.
"Durung ono sing teko seko Wonosobo"(belum ada yang datang dari Wonosobo)
"Lha iki WA ne kondo wes teko kat mau"(lha ini WA-nya bilang sudah sampai dari tadi)
"Durung, pak. onone cah enom loro lagi wae mulih"(belum, pak. Adanya anak muda dua tadi baru saja pulang)
Sepertinya kedua orang ini sudah saling mengenal. Lelaki itu masih bingung.
"Opo sing neng njero kae yo?"(apa yang ada didalam sana ya), ujar si penyemprot jamur, "Wong wedok loro karo wong lanang telu?"(dua perempuan sama tiga laki-laki)
"Ho'o, yo kuwi"(ya itu), tegas si lelaki
"Nek kuwi wes kat mau. Lagi neng njero karo juru kuncine"(kalau itu sudah dari tadi. Baru didalam sama juru kuncinya)
"O yowes, pak. Aku tak nunggu neng njobo"( o ya sudah, pak. Aku menunggu diluar saja). Si lelaki keluar komplek dan si penyemprot jamur melanjutkan aktivitasnya.
Hening kembali menguasai, sesekali kicau burung berderak. Langkah saya ayunkan dengan menapaki hamparan ubin. Saya seperti ditarik oleh pusaran waktu tempo doeloe. Melihat kumpulan nisan berjejer rapi mengingatkan saya pada meriam-meriam di benteng pertahanan. Berdiri tegak dengan pancaran akherat. Memberi ancaman agar selalu mengingat kematian.
Sebuah patung dada Raden Ngabehi Ronggowarsito tertanam disitu. Pengunjung akan mudah melihatnya dari pintu masuk. Pujangga besar ini terkenal dengan barisan syair macapatnya selain prosa. Diantaranya adalah tentang istilah jaman edan pada serat Kalatidha . "Iki jaman edan. Nek ora edan ora keduman. Tapi luwih becik sing eling lan waspodo"(ini jaman gila. Kalau tidak gila tidak kebagian. Tapi lebih bagus yang sadar dan waspada)
Menurut berbagai sumber, istilah jaman edan itu dibuat oleh Ronggowarsito manakala kolonial Belanda melontarkan program tanam paksa. Kebijakan itu membuat hidup kian berat. Harga-harga kebutuhan pokok masa itu tak terjangkau wong cilik. Rakyat kian kesrakat. Kelaparan melanda, terutama akar rumput. Beliau prihatin sekaligus kesal melihat kondisi tersebut. Bagi beberapa orang, istilah tersebut masih berlaku untuk setiap rezim yang menyengsarakan rakyatnya.
Nalika sugeng ngasta padamelan dados translateur/juru basa wonten ing kantor karesidenan Surakarta. Sekaliyan ingkang garwa: Jacoba Hendrika Logeman-seda: 1828. Kapindah dening para tresna Kasusastran Jawi saking Pasareyan Kerkop, ing Jebres-Surakarta, dateng Pasareyan Palar, surya kaping 30 Januari 1984 utawi tanggal kaping 21 Bakdomulud, Alip 1916 (Ini makamnya Carel Frederik Winter. Lahir di Yogyakarta tanggal 5 Juli 1799. Meninggal di Surakarta tanggal 14 Januari 1859.