Semangat! Kondisi itu terpatri dalam diri saya ketika akan blusuk desa di wilayah Klaten Timur. Pagi ini, Sabtu 14 Desember motorku telah aku paksa keluar dari halaman rumah untuk menuruti hasrat itu. Sebuah hasrat yang baru kemarin muncul tanpa diundang, tapi nekat datang. Motorku memutari ruas jalan kampung, menyebalkan! Membosankan! Begitu monoton suasana pagi ini. Tanpa kokok ayam seperti di pedesaan bahkan suara kumbang yang biasanya menjadi ilustrasi pagi.
Ya memang, hidup dikampung yang berada di tengah kota jangan berharap menemukan suasana ala desa, itu hanya khayalan. Cuma aku masih beruntung disambut matahari pagi yang bersedekap erat. Sinarnya lembut menerpa kulit wajah. Ikhlas menyapa bergelung cinta.
Sebenarnya, perjalanan kali ini akan mengajak ponakan saya. Sebab tiap sabtu dia libur. Sekolahnya menerapkan sistem lima hari masuk. Awalnya mau. Tapi didetik-detik terakhir ia merubah keinginannya. Malah dia minta diantar ke adik sepupunya yang bermukim di belakang UNS(Universitas Negeri Sebelas Maret). Karena tempat sepupunya tinggal dipasang wifi. Biasa, mau ngeGame. Â
Ya sudah, setelah mengantarkan, saya langsung tancap gas.
Dari awal, saya sudah berketetapan akan lewat rute yang dianjurkan Google Map. Walaupun saya juga siap dengan konsekuensinya. Karena google map kadang "menjerumuskan". Makanya jangan terlalu taklid buta sama dia.
Pagi ini suasana lalu lintas ramai. Saling salip mewarnai pagi ini. Lepas dari kota Solo menggunakan rute jalan desa ternyata sama saja. Keramaian nampak tanpa dinyana. Masuk desa keluar kampung menjadi spirit bagi saya. Beragam aktivitas penduduk menggores dibawah kubah langit biru.
Masuk wilayah pinggiran kabupaten Klaten berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo mendapatkan pemandangan persawahan. Hawa begitu sejuk berputar mengikuti.
Perjalanan saya kali ini akan mencari keberadaan obyek wisata Sendang Tirto Sinongko. Sendang ini terletak dipinggir jalan desa yang menghubungkan dengan desa lain. Â Yang menjadi pemicu adalah tangkapan foto diinternet tentang obyek ini. Berhasil menelurkan penasaran yang harus dibuktikan.
Ketika sampai di perempatan  Karangdowo kemudian mengambil arah menuju Pedan, di sinilah keuletan saya dalam pencarian diuji. Memelototi map dan mengingat apa yang jadi patokan membuat saya harus kerap menghentikan motor. Melakukan repetisi mengamati rute. Smartphone saya sembunyikan dalam tas selempang.
Aplikasi map dengan realita medan sungguh kontras mengagetkan. Sering menemukan kondisi jalan berantakan, aspal mengelupas dengan kerikil berserak. Tapi bisa juga mendapat jalan berlapis hotmix diruas desa. Tanaman jagung, tembakau, padi saya jumpai memohon agar pandanganku menatap lambaian mereka. Saya dipaksa beberapa kali berbalik arah demi menyesuaikan dengan map.
 Memasuki puluhan desa yang baru kali pertama dimasuki merupakan keasikan tersendiri. Ditambah kondisi desanya yang berwarna.
Sebuah gerbang desa bertulis "Selamat Datang di Desa Pokak" nampak terlihat dikejauhan. Yang aku ingat, obyek wisata ini bagian dari desa tersebut. Bisa dipastikan, tujuanku kian dekat. Dan benar, tidak begitu jauh nampak ornamen bangunan dari obyek wisata ini "menempel" dikelopak mata.
Sepi. Begitu yang saya temui. "Mana sendangnya?" lirihku. Tidak ada yang menarik. Tapi aku mencoba menata diri. Daripada berprasangka tanpa juntrungan, langkah kaki kian lebar aku kerjakan. Menelisik lebih dalam caraku memupus purbasangka. Mesin motor aku hentikan, kunci aku cabut. Butuh beberapa menit aku jelajahi jengkal demi jangkal.Â
Sambil mengamati ciri yang sama dengan gambar di internet. Tidak salah! Ini memang nyata. Ternyata dihadapanku adalah Sendang Tirto Sinongko. Tapi tanpa limpahan air yang fantastik. Sendang itu telah kering kerontang. Hanya sedikit air berwarna coklat pekat. Dasar sendang berupa pasir. Hanya begini? Pantas saja tidak ada hiruk pikuk disini. Yang terdengar hanya keriuhan di resto Griya Mbah Lurah. Letaknya tak jauh dari obyek ini. Ada acara yang menampilkan hiburan musik.
Menghadapi ujud Sendang Tirto Sinongko, pertanyaan-pertanyaan muncul dalam benak. Apakah sendang ini hanya hidup ketika musim hujan saja? Karena melihat foto dibandingkan dengan kunjungan saya di bulan Desember ini kontras banget. Foto-foto di dunia maya menyuguhkan suasana sendang yang begitu memukau. Air melimpah, beberapa anak berenang dengan gembiranya menimbulkan kecipak hingga debum yang berkepanjangan. Ayunan diatas sendang silih berganti dipakai pengunjung untuk mencari sensasi serta menumpahkan andrenalin.Â
Semua itu tidak aku dapatkan saat ini. Ekspektasiku terlalu tinggi. Ada kekecewaan menyisip di hati. Mau bagaimana lagi? Walau begitu, aku masih tetap menelusuri sudut-sudutnya. Beberapa sarana pendukung mencengkeram kokoh bumi. Waterboom mini bersama pernak-perniknya terbengkalai. Pun Kolam juga melompong. Saya berpendapat, waterboom ini hanya hidup mengikuti musim hujan. Karena menyesuaikan limpahan air dari sendang Tirta Sinongko. Rumput tumbuh liar disela-sela paving. Beberapa onggok sampah dibiarkan tergeletak serampangan, diantaranya di rumah panggung tempat pengunjung menikmati obyek ini dari atas. Wahana mainan anak-anak masih bergerak karena saya lihat ada beberapa bocah memakai. Bersama orangtuanya menghibur diri membunuh sepi biar hepi.
Dari sumber yang saya ketahui, Sendang Tirto Sinongko ada sebelum berdirinya perkampungan di desa Pokak. Sendang ini merupakan sumber mata air alami. Pemberian nama Sinongko adalah inisiatif dari raja Surakarta, Sunan PakuBuwono VII. Diceritakan, ketika sang raja melakukan perjalanan ke keraton Yogyakarta dalam rangka muhibah.
Ketika melewati tempat ini, raja memutuskan istirahat. Kedatangannya ternyata terdengar rakyat yang gubuknya jauh dari tempat itu. Berharap berkah serta cintanya pada sang raja, mereka menyuguhkan buah nangka sebagai kudapan pengganjal perut. Ada rasa syukur serta bahagia bagi raja atas pemberian itu. Sambil mengudap buah nangka, baginda membuang bijinya(beton) sambil bertitah,"Mangke saumpami wosipun nangka menika tuwuh lan saged gesang, tuwin sendang menika dados rejo supados dipun paringi asma sendang Sinongko"(nanti seumpama biji nangka ini tumbuh dan bisa hidup, dan sendang ini menjadi ramai supaya dikasih nama sendang Sinongko).
Destinasi ini dibagi dua tempat, sendang kakung (yang berada ditepi jalan) dipakai buat berenang. Sedangkan umbul Pokak bisa buat mancing atau naik wahana air. Namun kembali saya ulangi, hanya bisa dilakukan manakala airnya melimpah ruah. Titik!
Duduk disebuah kursi taman, aku meletupkan hasrat baru, karena waktu masih belum tengah hari, lebih baik cari obyek lain di sekitaran Klaten. Keputusan cepat aku ambil: candi Sojiwan arah selanjutnya yang aku tuju. (Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H