Sambil mengamati ciri yang sama dengan gambar di internet. Tidak salah! Ini memang nyata. Ternyata dihadapanku adalah Sendang Tirto Sinongko. Tapi tanpa limpahan air yang fantastik. Sendang itu telah kering kerontang. Hanya sedikit air berwarna coklat pekat. Dasar sendang berupa pasir. Hanya begini? Pantas saja tidak ada hiruk pikuk disini. Yang terdengar hanya keriuhan di resto Griya Mbah Lurah. Letaknya tak jauh dari obyek ini. Ada acara yang menampilkan hiburan musik.
Menghadapi ujud Sendang Tirto Sinongko, pertanyaan-pertanyaan muncul dalam benak. Apakah sendang ini hanya hidup ketika musim hujan saja? Karena melihat foto dibandingkan dengan kunjungan saya di bulan Desember ini kontras banget. Foto-foto di dunia maya menyuguhkan suasana sendang yang begitu memukau. Air melimpah, beberapa anak berenang dengan gembiranya menimbulkan kecipak hingga debum yang berkepanjangan. Ayunan diatas sendang silih berganti dipakai pengunjung untuk mencari sensasi serta menumpahkan andrenalin.Â
Semua itu tidak aku dapatkan saat ini. Ekspektasiku terlalu tinggi. Ada kekecewaan menyisip di hati. Mau bagaimana lagi? Walau begitu, aku masih tetap menelusuri sudut-sudutnya. Beberapa sarana pendukung mencengkeram kokoh bumi. Waterboom mini bersama pernak-perniknya terbengkalai. Pun Kolam juga melompong. Saya berpendapat, waterboom ini hanya hidup mengikuti musim hujan. Karena menyesuaikan limpahan air dari sendang Tirta Sinongko. Rumput tumbuh liar disela-sela paving. Beberapa onggok sampah dibiarkan tergeletak serampangan, diantaranya di rumah panggung tempat pengunjung menikmati obyek ini dari atas. Wahana mainan anak-anak masih bergerak karena saya lihat ada beberapa bocah memakai. Bersama orangtuanya menghibur diri membunuh sepi biar hepi.
Dari sumber yang saya ketahui, Sendang Tirto Sinongko ada sebelum berdirinya perkampungan di desa Pokak. Sendang ini merupakan sumber mata air alami. Pemberian nama Sinongko adalah inisiatif dari raja Surakarta, Sunan PakuBuwono VII. Diceritakan, ketika sang raja melakukan perjalanan ke keraton Yogyakarta dalam rangka muhibah.
Ketika melewati tempat ini, raja memutuskan istirahat. Kedatangannya ternyata terdengar rakyat yang gubuknya jauh dari tempat itu. Berharap berkah serta cintanya pada sang raja, mereka menyuguhkan buah nangka sebagai kudapan pengganjal perut. Ada rasa syukur serta bahagia bagi raja atas pemberian itu. Sambil mengudap buah nangka, baginda membuang bijinya(beton) sambil bertitah,"Mangke saumpami wosipun nangka menika tuwuh lan saged gesang, tuwin sendang menika dados rejo supados dipun paringi asma sendang Sinongko"(nanti seumpama biji nangka ini tumbuh dan bisa hidup, dan sendang ini menjadi ramai supaya dikasih nama sendang Sinongko).
Destinasi ini dibagi dua tempat, sendang kakung (yang berada ditepi jalan) dipakai buat berenang. Sedangkan umbul Pokak bisa buat mancing atau naik wahana air. Namun kembali saya ulangi, hanya bisa dilakukan manakala airnya melimpah ruah. Titik!
Duduk disebuah kursi taman, aku meletupkan hasrat baru, karena waktu masih belum tengah hari, lebih baik cari obyek lain di sekitaran Klaten. Keputusan cepat aku ambil: candi Sojiwan arah selanjutnya yang aku tuju. (Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H