Keterkejutan menyergap penanak nasi, pengrajin topeng, pembuat tahu goreng. Selembar lelayu menyembunyikan ketajaman pemilik gelar. Atau juga keturunannya yang mengenggam tahta kejayaan.Â
Berbondong-bondong menyatroni sumber ketajaman karena hubungan perkawanan dengan lingkar pekerjaan. Semua menampilkan tanda belasungkawa. Â Basah air mata membanjiri kawasan para prajurit.
Kenapa raja atau permaisuri tidak datang? Bungkusanmu tidak bermoral. Payah!
Seremonialpun digelar.
Hempasan salju telah diganti tajamnya matahari. Liukan angin timur terhalang para pelayat. Â
Bergeraklah para pengantar. Abaikan raja yang hilang disudut pematang. Dia tidak niat. Hatinya sedang jahat?
Kamboja bersemayam dipinggiran. Menunggu jenazah dari tanggul lidah sapi. Dia bukan raja, tapi ketulusannya mendapat nilai tertinggi. Bahkan nenek berliur menyempatkan mengiringi karena jenazah bagian dari tubuhnya.
Penggali kubur menatap nanar, "Kami sudah terbiasa. Kami sudah terbiasa..."
Rumput memberi salam hening. Tidak perlu benggol sebagai upah. Jenazah adalah nasehat ampuh baginya. Nilainya setinggi langit seberat gunung. Tiupan angin timur tak alpa mengiringi. Inilah keikhlasan.
Penggali kubur masih teriakkan, "Kami sudah terbiasa". Pengantar jenazah memberi doa. Ujung siang masih jauh, azan pun belum bernada.
Serpihan tanah terakhir ditaburkan bersama bunga-bunga. Tanah menggunduk tetabuhan doa dan lara.
Daksinoloyo, 9 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H