Seperti yang saya alami di Ramadhan tahun kemarin(2017, 2018). Saya merasa Ramadhan tahun ini sama dalam artian biasa-biasa saja.
Apakah itu pertanda keimanan saya mengalami penurunan? Atau situasi dan kondisi lingkungan kota serta negara ikut menyumbang rasa itu?Pernah menjadi bagian Ramadhan yang takarannya berbobot syahdu, memeluk puluhan tebaran hikmah lewat beberapa sumber.
Jika saya merasakan hanya 'biasa saja' kadang ada rasa ketakutan. Bila hari ini sama atau bahkan lebih buruk dari hari-hari kemarin, itu pertanda seseorang mengalami kebangkrutan. Saya bangkrut?!
Dari hari pertama sampai pungkasan, ibadah saya hanya standar: sholat lima waktu, tarawih, tunaikan zakat, aktivitas seperti biasa, tanpa membuka Al-Qur'an(karena memang masih blekak-blekuk-kalah jauh sama hafidz anak kecil).
Pagi tadi tatkala melaksanakan sholat Ied di kompleks gedung IPHI Solo, kemudian dilanjutkan mendengarkan ceramah KH.Muhammad Taufik Widodo ada sentakan yang membuka pemikiran saya. Isi ceramahnya biasa saja bahkan beberapa diantaranya pernah saya dengar, malah kesannya seperti membaca teks pidato. Tapi ada beberapa point yang menyentuh lubang garis kesadaran.
Diungkapkan, Surga itu merindukan empat golongan umat Rasulullah SAW, yaitu orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, orang yang mampu menjaga lisan, yang memberi makan pada kaum lapar dan orang yang rajin membaca Al-Qur'an.
Saya mendapat sentilan keras hingga membuat pikiran bercabang. Makin panjang percabangannya sampai dititik kemampatan. Sudah digariskan Tuhan, kalau saya harus menjadi bagian shaf di antara ratusan jamaah sholat serta gempuran hujan kata-kata dari khatib berpeci hitam.
Lima jam kemudian, adik ipar saya datang dari Jogja. Membuka perbincangan dengan menanyakan kabar dirinya. Ragam bahasan tentang tradisi mudik sampai pada pernyataan: silaturahiim atau mengunjungi orangtua bagian dari adat kebiasaan didesa Gambasan terkhusus, serta Temanggung pada umumnya.
Dia mengomentari perkataan saya tentang tradisi kunjung mengunjungi di mana saya bertempat tinggal sudah tidak seperti era 80 an dan 90 an. Bisa dikatakan nyaris hilang. Antar tetangga hanya sebatas say hello. Hanya beberapa gelintir mampu menjaga jabat tangan.
"Orangtua senang kalau anaknya mengunjunginya. Tidak perlu bawa oleh-oleh, tidak penting", ungkapnya, "Yang menjadi masalah adalah beberapa perantau berpikir 1000 kali mengumpulkan keberanian untuk pulang jika hasil sepak terjangnya belum menghasilkan materi berlebih. Padahal itu keliru. Pemikiran tersebut didapat dari kompresan pemikiran perantau lain yang secara tak langsung meruntuhkan mental"
"Itupun ditambahi saling pamer keberhasilan bila satu sama lain tidak mau kalah. Kesannya malah bodoh"