Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Hubungan antara Telaga Madirda dengan Situs Planggatan

24 September 2018   13:52 Diperbarui: 24 September 2018   16:44 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini kali pertama mengunjungi telaga Madirda. Padahal sudah tahunan gendang telinga mendengar keberadaan obyek wisata ini. Bahkan artikel tentangnya sudah banyak tersebar di media massa, baik cetak maupun elektronik. Pun seorang kompasioner pernah menarasikan beberapa tahun yang lalu.

Apakah ini ada hubungannya dengan 'rasa' dan 'merasa'? Maksudnya? 'Rasa' dihati belum tertarik, serta 'merasa' tempat ini biasa saja.

'Rasa' dan 'merasa' bisa menjadi anak panah yang dibidikkan kearah jantung. Ditodong dengan tekanan untuk mencari keberadaan telaga itu. Berbekal semangat api nan tak pernah kunjung padam berangkatlah saya dengan misi sederhana. Bagaimana  

keelokannya? Apakah iya seperti diungkap beberapa artikel?

Setelah berkelak-kelok dan tanya sama seorang anak kecil (saya salah jalan. Terlalu jauh sesatnya) sampai juga di pelataran parkir telaga Madirda. Beberapa motor serta mobil berbaris sedikit rapi. Mengikuti kata hati, motor saya parkirkan di sebelah dagangan penjual cilok keliling.

Siang itu, serombongan pengunjung terpecah-pecah menempati sudut keinginan. Ayunan kaki dilangkahkan dengan maksud mengelilingi pinggiran-sebelumnya saya dihampiri ibu pemilik warung yang buka satu-satunya, menyodorkan karcis parkir seharga 2 ribu rupiah saja.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Lokasi telaga Madirda dikukung jejeran bukit dengan pepohonan menjulang. Rerumputan menghijau bergradasi. Telaga Madirda masuk wilayah desa Berjo kecamatan Ngargoyoso kabupaten Karanganyar.

Siang itu, awalnya matahari mengintip dibalik awan. Setelahnya ia pamerkan kekuatan, mengharuskan kepala dilindungi  slayer untuk mereduksi terik.

Di antara kesejukan dan semilir angin, sepak terjang planet paling panas sejagat tetap ikut cawe-cawe tanpa perlu ijin.

Bening air telaga mirip kaca hingga dasar telaga yang hitam jelas benar. Semakin menjadi fakta ketika sekelompok anak kecil warga desa setempat bermain menjaring kecebong. Tanah berlumpur hitam pekat dikoyak kemudian dihamparkan dipinggiran. Kecebong mengeliat jengkel, sebagai reaksi karena habitatnya diganggu.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Obyek wisata ini nampaknya dulu pernah menjadi tempat outbound. Beberapa bekas perangkat kerasnya teronggok menjadi monumen kekalahan. Bahkan gerbangnya juga sudah dibangun walau akhirnya tak dilanjutkan. Dan pengunjung diarahkan melewati akses lain.

Sebuah tanah lapang bergawang bambu berdampingan dengan telaga. Membentuk paduan akal individu, berpatok-patok kebun pertanian tampakkan keberadaan. Hasil tanamannya beragam, cabe, daun bawang, kubis dan lain sebagainya. Daya ciummu akan disuguhi bau khas kotoran hewan berkaki empat. Itulah pupuk alami hasil fermentasi lambung sapi.

Telaga Madirda setiap tahun rutin dipakai sebagai tempat upacara Melasti. Upacara umat Hindu untuk pembersihan diri jelang hari raya Nyepi.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Telaga ini dikelola Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Berjo. Kondisinya sekarang dibiarkan ala kadarnya. Fasilitas outbond sudah terbengkalai. Karatan hal paling nyata, disamping ketidaksempurnaan alat pendukung. Begitulah kita? Apa tidak sebaiknya diperbaiki lagi?

Menurut pendapat saya, andai didesain ulang dengan penambahan beberapa item yang disesuaikan alam sekitar, saya rasa tempat ini akan booming kembali. Faktor alaminya sudah cukup menjual. Dengan catatan, tidak menafikan kalau ada umat Hindu yang selalu melakukan upacara keagamaan ditiap tahunnya.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Tidak jauh darinya, sebuah situs cagar budaya bernama Planggatan masih bisa kita jumpai. Diawal menelusuri jalan pedesaan, selarik petunjuk membisikkan nada agar setelah cukup di telaga Madirda, jangan lupa mengunjungi situs bersejarah tersebut. Keberadaan saya disana disambut aura kental kekunoan jaman kerajaan. 

Batu-batu tergeletak, diantaranya nampak tersusun. Melihat ujudnya, perkiraan saya situs ini sebuah candi. Beranjak dari satu sudut ke sudut lain tampak jelas kalau bentuk bershaf berjenjang keatas.

Karena letaknya diatas bukit kecil pandangan kita akan disuguhi lanskap sekitaran. Bila padusunan ini belum terbentuk, saya bayangkan para wiku atau brahmana pasti akan bersemedi mengarah ke penjuru mata angin, terhiasi hamparan tebal tipisnya rerimbun hutan.

Saya menemui relief dengan ukiran bentuk rumah jaman dulu, orang naik kuda, beberapa orang bersenjata berbaris (mirip prajurit), huruf kuno, manusia berkepala gajah. Tapak tangan saya tempelkan sejenak dipahatannya. Mencoba merasakan sentuhan jemari si pemahat yang mungkin masih tertinggal.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Dibawah kesejukan dan rindangnya pohon, saya berkelana diujung masa. Para brahmana melakukan lelaku sabda sang Hyang Tunggal. Suasana tempat itu begitu damai. Tak ada kegaduhan bahkan percik kemarahan. 

Jauh dari hingar bingar perpolitikan, perang antar kerajaan,Degup jantung mereka terdengar di keheningan tersamar dingin, kubah langit membiru dengan goresan awan gemawan, deru angin gunung, tingkah satwa hutan menjadi harmoni keseimbangan alam.

Melihat kondisinya, saya mengapungkan kata 'Apakah' untuk mengajukan pertanyaan.

Apakah tempat ini benar-benar diseleseikan ketika dibangun? Karena beberapa batu besar masih teronggok dekat dengan situs itu. Tergeletak menunggu dibentuk?

Sebuah pohon menjulang tinggi bertunas pinak diatas situs. Menimbulkan tanya, bila ini candi yang sudah jadi, apakah pohon tersebut menjadi penyebab akan kerusakan selain faktor alam lainnya?

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Pandangan saya tertarik pada sebuah batu tertanam ditanah. Terlihat hanya atasan saja karena posisinya sejajar dengan tanah.  Dilihat mirip banget umpak. Tahu umpak? Kalau kalian pernah melihat rumah joglo, datangi dan amati pilar kayu penyangganya. Ada batu andesit bentuknya segi empat sebagai pondasi. Ukuran atas dan bawah berbeda. Bawah lebih lebar.

Kalau begitu situs ini bisa jadi sebuah pertapaan? Tempat brahmana melakukan kontemplasi? Tempat dialog antara dia dengan sang Hyang Tunggal?

Di era kerajaan apa situs itu didirikan? Majapahit-kah?

Lalu, Apakah telaga Madirda ada hubungannya dengan keberadaan situs Planggatan?

Reservoir air itu konon alami, bukan buatan manusia. Dari pitutur guru sejarah dimasa sekolah, keberadaan setiap candi pasti tidak akan jauh dari sumber air. Coba perhatikan, pasti dari setiap candi ada sumber air ditempat itu.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Bukankah jarak situs Planggatan dengan telaga Madirda cukup jauh?  Menurut kamu, karena yang dipakai patokan rute buatan manusia era  sekarang, bagaimana kondisi wilayah itu dulunya. Kemungkinan mereka mempunyai akses yang lebih dekat. Lagian, orang jaman dahulu itu sudah terbiasa jalan kaki. Jadi bagi mereka jauh atau dekat bukan persoalan berat. Bandingkan manusia sekarang, baru jalan 5 km sudah sambat.

Situs tersebut berada didusun Tambak desa Berjo dengan jalanan kecil melingkar naik turun. Rumah-rumah penduduk bersembulan berdekatan.

Wilayah lereng gunung dengan sumber air yang melimpah menjadi titik penting bagi pendirian candi. Kesunyian bergaris lurus dengan bakti pada sang pencipta memudahkan mereka merefleksikan diri bersama alampada. Kesunyian adalah pangkal memainkan energi diri bagi para brahmana, wiku, atau apapun julukannya, inilah yang dicari.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Situs Planggatan dibawah pengawasan dan perlindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng. Masih perlu penelitian lebih lanjut? Untuk mengungkap sisik melik dibalik sosoknya. Dan masih butuh dana untuk penataan.[Selesai]

#catatan kaki:

Menuju obyek wisata ini langkah terbaik naik motor. Karena tidak ada angkutan umum sampai di tempat. Jalan berkelok-kelok naik turun dengan jurang dibeberapa titik mewajibkan kamu konsentrasi. Pastikan kondisi remmu pakem, terutama motor matik.

Bagi yang belum pernah kesana, ini rutenya. Dari Solo menuju ke Karangpandan-Tawangmangu. Kalian sebenarnya bisa lewat akses arah air terjun Jumog. 

Tapi menurut saya, lebih gampang kalau kalian lewat sini: dari terminal Karangpandan arahkan ke Tawangmangu. Jika nanti kalian menjumpai hotel dan restorant JawaDwipa (bangunannya dari bata merah semua-ikonik, letaknya persis dipinggir jalan raya) ada jalan disampingnya. 

Ambil dan ikuti. Rutenya searah tempat outbond Amanah. Bila bertemu pertigaan dan ada papan petunjuk susuri saja terus. Sampai sini ya panduan dari saya, karena nanti kalian akan menjumpai beberapa plakat yang jelas. Saya yakin kalian akan sampai ditujuan. Selamat berkunjung.

#AyoPiknik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun