Ini kali pertama mengunjungi telaga Madirda. Padahal sudah tahunan gendang telinga mendengar keberadaan obyek wisata ini. Bahkan artikel tentangnya sudah banyak tersebar di media massa, baik cetak maupun elektronik. Pun seorang kompasioner pernah menarasikan beberapa tahun yang lalu.
Apakah ini ada hubungannya dengan 'rasa' dan 'merasa'? Maksudnya? 'Rasa' dihati belum tertarik, serta 'merasa' tempat ini biasa saja.
'Rasa' dan 'merasa' bisa menjadi anak panah yang dibidikkan kearah jantung. Ditodong dengan tekanan untuk mencari keberadaan telaga itu. Berbekal semangat api nan tak pernah kunjung padam berangkatlah saya dengan misi sederhana. Bagaimana Â
keelokannya? Apakah iya seperti diungkap beberapa artikel?
Setelah berkelak-kelok dan tanya sama seorang anak kecil (saya salah jalan. Terlalu jauh sesatnya) sampai juga di pelataran parkir telaga Madirda. Beberapa motor serta mobil berbaris sedikit rapi. Mengikuti kata hati, motor saya parkirkan di sebelah dagangan penjual cilok keliling.
Siang itu, serombongan pengunjung terpecah-pecah menempati sudut keinginan. Ayunan kaki dilangkahkan dengan maksud mengelilingi pinggiran-sebelumnya saya dihampiri ibu pemilik warung yang buka satu-satunya, menyodorkan karcis parkir seharga 2 ribu rupiah saja.
Siang itu, awalnya matahari mengintip dibalik awan. Setelahnya ia pamerkan kekuatan, mengharuskan kepala dilindungi  slayer untuk mereduksi terik.
Di antara kesejukan dan semilir angin, sepak terjang planet paling panas sejagat tetap ikut cawe-cawe tanpa perlu ijin.
Bening air telaga mirip kaca hingga dasar telaga yang hitam jelas benar. Semakin menjadi fakta ketika sekelompok anak kecil warga desa setempat bermain menjaring kecebong. Tanah berlumpur hitam pekat dikoyak kemudian dihamparkan dipinggiran. Kecebong mengeliat jengkel, sebagai reaksi karena habitatnya diganggu.