Tenar bisa menempel pada sesuatu apapun dibumi. Masa ketenaran tiap obyek berbeda satu sama lain. Mereka melalui tahapan untuk meraih ketenaran. Dari artis, olahragawan, kuliner, sampai tempat wisata.
Di sini saya akan bahas satu wana wisata yang dulunya tenar? (mencoba tenar. Dipaksa untuk tenar?) tapi akhirnya menyerah kalah digilas sang kompetitor, terperangkap sepi di hutan pinus nan asri. Tidak salah lagi, yaitu Wana Wisata Tlagan Asri.
Hutan pinus adalah awal kenapa wana wisata ini coba ditawarkan. Ditambah artifisial pendukung mereka mencoba memasuki kancah dunia pariwisata. Level mereka lokal dengan ragam spot selfie yang menjadi andalan. Jadi ini wisata selfie.Â
Tapi sayangnya, spot selfienya semua sama dengan beberapa wana wisata lain disekitaran lereng gunung Lawu. Hal ini mungkin menjadi faktor kenapa akhirnya mereka melemparkan handuk putih. Menyerah.
Kok tidak ada tulisan: Kapan Hutangmu Dilunasi?), sayap malaikat (sayap burung kali. Akan lebih bagus sayap kelelawar). Malah menjengkelkan lagi pengelola menambah item jembatan uji nyali panjang dua meter dari tali tambang plastik. Jarak dari tanah tanah hanya satu meteran. Maksudnya apa? Mungkin buat anak-anak, om. O ya?
Betapa tidak mudahnya mempertahankan obyek wisata agar laku dan dikunjungi. Dibutuhkan kekuatan berlapis niat. Saya juga tidak seratus persen menyalahkan pengelola.Â
Obyek wisata buatan manusia kalau fenomenal mungkin akan bertahan lama. Misal, candi Borobudur, Prambanan, Waduk Gajah Mungkur (obyek wisata sendang Asri), dst. Apalagi buatan Tuhan: Danau Toba, Bromo, Grojogan sewu, dst.
Yang dapat diambil dari hutan pinus selain getah dan turunannya adalah kealamian tempat. Dicoba dengan mengelola untuk wana wisata cukup bagus. Cuma harus didukung sarana dan prasarana untuk menguatkan pondasinya. Saya punya pendapat, wana wisata di dusun Sendang desa Sepanjang ini didirikan dengan "mendompleng" Goa Maria Sendang Pawitra. Karena berdirinya lebih dulu Goa Maria.Â
Jarak antar keduanya sejalur cukup dekat. Disamping itu, nama tempat ibadah umat Katolik sudah familiar bagi masyarakat sekitar. Bahkan jika kalian ke Tawangmangu, sebelum terminal atau SMPN 1 Tawangmangu sudah ada plakat khusus ke arah tempat wisata religi tersebut. Disinilah kemungkinan, Tlagan Asri coba ditawarkan sebagai alternatif atau pendamping.
 Saya dibuat cemas karena melewati lereng yang bikin deg-degan. Memakai motor matic boleh dibilang nekat. Saya melihat, warga desa jarang yang memakai model matic sebagai tunggangan. Kebanyakan bergigi baik bebek atau koplingan. Benar-benar diperlukan kehati-hatian.Â
Bagi penduduk di lereng gunung, jalanan kaya usus ayam bukan sesuatu ajaib. Tapi bagi saya dan mungkin warga kota ini sesuatu yang bikin andrenalin bergolak. Kanan kiri jurang dalam, tebing bukit ada yang longsor sedikit. Berbicara masalah longsor, salah satu dusun di Jatiyoso sudah hilang karena longsor. Penduduk yang selamat di pindah disekitar dusun tetangga terdekat.
Dulunya mereka darimana ya? kok bertempat tinggal di lereng pegunungan?
Tipikal lereng gunung, lahan pertanian pasti dengan kemiringan ekstrem dengan jenis tanah kemerahan. Kol, bebungaan, wortel, daun bawang, pisang, cengkeh melimpah disisian.
Seorang simbah simbah datang dan duduk disana saya tanyai tentang lokasi itu. Jaraknya tak jauh lagi, hanya kisaran 1 kilometeran. Selembar 5 ribuan berpindah tangan. Apakah penjaga loketnya harus seorang nenek? Jawabannya bisa kalian tafsirkan di awal tulisan ini.
Bila pemuda sudah menyerah kalah, orangtualah yang jadi penggantinya?
Taman dengan hiasan beragam bunga terkantuk-kantuk menunggu nasib, kapan akan menjadi belukar? Gemericik air dari keran di samping warung bambu (dibiarkan menyala) menjadi lonceng pengingat kalau dulunya tempat ini pernah mengenyam masa-masa keemasan.Â
Dulu yang ditawarkan destinasi ini macam-macam: Taman Jempol, Taman Asmara, Rumah Pohon, Arena ATV, Bumi Perkemahan. Spot selfienya dikasih julukan ngedap-ngedapi: Asmara Tresna Sejati, Banyu Legi Park, Dwi Wana Sejati, Purna Wana Sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H