Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Para Penanda Waktu

29 Agustus 2018   13:14 Diperbarui: 29 Agustus 2018   13:26 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila kita bepergian, waktu selalu kita pakai sebagai patokan kapan berangkat kapan sampai ditempat. Oleh karenanya, keberadaan jam sangat di andalkan sebagai sarana pengingat agar tak alpa menjalani jadwal yang telah ditetapkan. Namun selain jam, ada beberapa tindakan seseorang dijadikan tanda ukur waktu oleh beberapa orang. Seperti yang penulis alami dan ketahui.

Kebiasaan kongkow di sebuah hik/wedangan di dalam kampung Gurawan, pasar Kliwon, Solo, melemparkan topik kemudian diolah jadi perbincangan hangat bahkan memercik tensi menjadi awal pertanyaan kenapa setiap kedatangan seorang tua dikoridor tengah kampung pasti muncul ujaran; "Pripun, mbah? Rame?" (bagaimana mbah? Ramai?)

"Alhamdulillah, mas" yang ditujukan pada kakek tersebut.

"Mulih pora, bro. Wis jam sepuluh lho?" (pulang tidak, bro. Sudah jam sepuluh lho?)

Awalnya, saya tidak menggubris. Tapi berulangkali bertandang ke komunitas itu, selalu saja ujaran tersebut dilempar manakala si kakek lewat. "Mulih ra? Wis jam sepuluh lho?" Dan memang benar, ketika jam di HP saya lihat, tampak menunjukkan pukul 22.00 wib (10 malam). Memang tidak selalu tepat, kadang kelebihan satu atau tiga menitan.

Siapakah orang tua itu hingga menarik perhatian dan menjadi penanda waktu buat komunitas kecil dikampung Gurawan? Ia adalah sosok tua dengan tampilan jauh dari kemewahan. Berselempang tas kain kumal bertongkat dengan hiasan beberapa lonceng kecil. Jalannya sedikit membungkuk, memakai baju koko putih mendekati kusam. Beberapa uban menyembul disela lingkar kupluk. 

Suara kerincing berpadu suara ketukan ujung tongkat ke bumi menyeruak lepas, "Duk cring!....Duk cring!...duk cring!" berulang-ulang menegaskan kalau sang kakek datang.

Kabar burung yang beredar, si kakek adalah pengemis. Operasinya sekitaran masjid Agung alun-alun utara karaton Surakarta. Kalau kabar itu benar, berarti tebakan saya mis. Saya pikir si kakek seorang pemijat keliling, ternyata seorang kaypang seperti di rimba persilatan.

Sesekali kesempatan, saya memperhatikan gerak gerik kakek kaypang hingga menghilang ditelan malam diujung jalan. Hingga efek ekor jas menyembul: Berapa tahun ia mengabdi pada profesinya? Pasti sudah ratusan ribu kilometer jarak yang telah ia susuri. Dimana gubuk tempat tubuh rentanya di ninabobokan?

Ketika ragawi akan ditidurkan setelah lama dipaksa melakukan mobilitas, pikiran secara sekelebat sudah mencatatkan pukul berapa dirinya akan bangun nantinya. Dalam kondisi tertidur seringkali otak digedor oleh "sesuatu" sehingga nglilir (bangun ditengah malam). Kondisi ini, lepas dari kebetulan atau apa istilahnya, selalu dihadirkan oleh beberapa penanda waktu. 

Misalnya ini (pengalaman pribadi), pukulan kentongan dikampung saya bisa dipastikan kalau jam menunjukkan tepat di dua malam. Jadi kebiasaan petugas ronda dikampung kami berkeliling di jam segitu. Atau bunyi decit putaran ban dari gerobak sampah sebagai pengingat kalau sisa-sisa kotoran rumah tangga telah masuk kontainer dan diangkut di jam lima kurang seperempat menit di pagi hari. 

Sementara itu dilain tempat, gesekan ujung tongkat ke dinding-dinding rumah dikawasan padat penduduk bisa dipastikan kalau subuh akan menjelang. Dimana sih? Dikota Bekasi. Ketika saya didamparkan beberapa bulan menginap dirumah kakak kandung. Selama itulah saya mengamati beberapa kondisi yang terjadi. Diantaranya bunyi gesekan ujung tongkat ke dinding luar rumah. Mulanya menjadi gangguan, kalau boleh dikatakan mengagetkan.

"Sopo sih, ijek peteng ndhedet nggawe suoro?" (siapa sih, masih gelap gulita bikin suara?)

Itu berulangkali hingga sebuah pertanyaan saya ajukan pada kakak saya, "Mbak, sing bengi-bengi nggawe suoro neng tembok sopo tho?" (mbak, yang malam-malam bikin suara di tembok siapa?)

"Ooo..kuwi engkong X. Mripate rodo wuto, dadi nganggo tongkat ben ora kleru dalan. Wong kene wis biasa. Omahe rodok mlebu. Malah apik iso nggugah uwong ben do tangi esuk" (Ooo..itu engkong X. Matanya sedikit buta, jadi pakai tongkat biar tidak keliru jalan. Orang sini sudah biasa. Rumahnya sedikit masuk kedalam. Malah bagus bisa membangunkan orang biar bangun pagi)

" Pantesan, let sedelok mesti adzan subuh" (pantas saja, tidak beberapa lama pasti adzan subuh)

Saya malah kian suka dengan bunyi gesekan itu. Menjadi alarm kedua setelah HP.

Lain lagi jika teriakan, "Si Bolang!" menggema di kampung kami. Sudah bisa di pastikan jam lima sore menjelang. Iya, itu teriakan khas milik penjual siomay asal Banjarnegara. Bagaimana bisa 'si Bolang' menjadi trademark penjual siomay? Awalnya kebiasaan ponakan beli dagangannya. Ketika itu, pas beli pakai topi dengan bordiran Si Bolang. 

Ya sudah, akhirnya jika lewat depan rumah, untuk mengingatkan kami (maksudnya ponakan saya) masnya teriak, "Si Bolang!" dengan cengkok melengkuk ke atas. Itupun masih ditambah pukulan di bilah bambu berbunyi, "Tok!..toktoktoktoktok...tok! Si Bolaaang!".

Ditahun 1936 sampai 1942 bagi penduduk pulau Banda khususnya pekerja di perkebunan, kebiasaan bung Hatta alias bung kacamata menjadi penanda waktu untuk segera menyudahi aktifitas mereka. Antara jam empat sampai lima sore Waktu Indonesia Timur adalah rutinitas yang dilakukan sang proklamator untuk mengelilingi pulau banda. Dengan jarak 3 kilometer ditempuh pulang pergi saban hari, senin hingga sabtu. 

Jalurnya sama, dari rumah pengasingan menuju masjid, terus telusuri jalan setapak melewati hutan, kebun pala hingga berakhir diujung pulau berupa pantai yang cantik. Berhenti sebentar sambil memandangi permainan ombak dengan selarik cakrawala di ujung sana. 

Setelah dirasa cukup, beliau balik kembali dengan menempuh jalan yang sama. Karena dilakukan rutin serta tepat waktu, bung Hatta di jadikan pengukur waktu. Kemunculannya di perkebunan ketika balik selalu mengundang pekerja berujar, "Sudah jam lima. Ayo berkemas. Waktunya pulang". Kehadiran beliau menjadi penting karena di perkebunan tidak ada jam.

Bagi para pemburu dipegunungan dengan hutan yang lebat serta kaum perkotaan dengan daerah perbukitan, penampakan hitam dengan corak yang selalu berubah diatas langit menjadi pengukur kalau rembang senja akan datang. Corak hitam itu gerombolan kelelawar (kampret, codot) yang siap melakukan perambahan rejeki. Nenek moyang kita dulu selalu menjadikan mereka sebagai penanda waktu atau cuaca. 

Jika kelelawar tidak keluar dari dalam goa, bisa dipastikan cuaca akan buruk. Bisa jadi akan ada hujan disertai angin yang menderu diatas normal (extreme wind), petir menggelegar bahkan sambung menyambung.

Dengan melihat perilaku lebah para pemburu juga bisa menyikapi kondisi cuaca. Bila kawanan lebah berani menjauh atau meninggalkan sarang, itu menandakan cuaca baik. Tapi jika tak mau jauh-jauh dari sarang pertanda cuaca buruk akan datang.

Sedangkan jangkrik lain lagi. Bila kerikannya gandang (nyaring) bisa dipastikan cuaca cerah. Kerikan panjang nyaring timbul karena kecepatan gesekan antar sayap. Itu hanya bisa tercapai jika suhu udara  dilevel 18-32 derajat celcius.

Menurut hasil penelitian gabungan dari empat institusi (Texas A&M, University of Virginia, University of New South Wales, University of Utah) gajah mampu mendeteksi datangnya badai hingga 240 km jauhnya. Maka tak heran kalau binatang terbesar darat itu selalu lolos dari terjangan badai.

Buat kita yang berada dirumah, bila nyamuk mengganggu disertai gigitan dipagi hari, berarti akan turun hujan, atau mendung sedang menggelayut diatas kita. Itu bisa diperjelas lagi andai nyamuk terbang ditempat yang gelap atau dalam bayang-bayang dibawah kolong meja, kursi, amben, pertanda cuaca buruk mengintai.

Begitulah cara Tuhan membekali makhlukNya dengan beberapa keunikan supaya saling melengkapi dalam memutari roda kehidupan.  

Kalau kamu, apa penanda waktumu selain jam? [Selesai]

*Daftar Pustaka:

~ Majalah Tempo

~ kumardika.blogspot.com

~ Bobo.grid.id

~ situs IMarE Indonesia (Ikatan Marine Engineer)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun