Lain lagi cerita teman saya yang bekerja di sebuah hotel di Solo. Dia yang bertugas di bagian room boy pernah mengalami nasib sial dalam tugasnya. Berawal dari sebuah pesan untuk membersihkan kamar satu tamu. Masuk kedalam yang pertama ia lakukan meneliti beberapa item yang perlu disortir.
Berikutnya masuklah ke kamar mandi. Kamar kelas deluxe itu mempunyai bathtub. Disinilah ia dibikin mual dan muntah. Bayangkan, ( maaf) kotoran manusia teronggok didalam bathtub. Betapa sadis!
"Mosok to, pak", tanya saya
"Halah, demi Allah", jawab teman
"Tamune kuwi wis tuo? Nek tuwo mungkin pikun. Rumongsone kakus" (tamunya sudah tua? Kalau tua kemungkinan pikun. Dikira wc) ,tanya saya.
"Yo ora mungkin. Umure kiro-kiro sewidak an-60 tahun. Kuwi apal karo pegawe hotel. Marai kerep nginep" (ya tidak mungkin. Umurnya kira-kira 60 an tahun. Dia hapal sama pegawai hotel, sebab sering menginap)
"Ora mbok seneni?" (tidak kamu marahi?)
"Sopo sing wani nyeneni karo kerabat dekat pemilik saham terbesar hotel kuwi? Iso-iso aku dipecat!" (siapa yang berani memarahi sama salah satu kerabat dekat pemilik saham terbesar hotel itu? Bisa-bisa saya dipecat)
Dan teman saya itu sekarang memang telah lama di PHK. Bukan masalah "itu", tapi memang pembersihan pegawai yang dirasa sudah "tua". Tapi alhamdulillah sekarang sudah kerja lagi di sebuah pabrik pembuatan roti kelas menengah.
Masalah MCK memang urgen. Kalau tidak diseleseikan menimbulkan masalah berkepanjangan dan komplikasi. Tanpanya sebuah kota bisa ruyam.
Kebiasaan penduduk di bantaran sungai Bengawan Solo juga sedikit memberi gambaran. Saya pernah melihat orang berderet-deret buang air besar dialiran sungai itu. Wajar saja kalau mendapat predikat kakus terpanjang di pulau Jawa. Itu dulu, sekarang sudah berkurang. Seandainya ada, paling satu dua orang saja yang masih "kangen" dengan sang bengawan.