Petunjuk ke Kalimirah minim, hanya di luar desa. Belak-belok mengandalkan feeling ternyata dapat bisikan hati agar bertanya saja pada penduduk. Terlihat 3 perempuan sedang melakukan aktifitas peladangan. Motor saya matikan. Langkah kaki menuju ke obyek sasaran.
"Kulo nuwun, bu". Mereka sedang membersihkan gulma atau tumbuhan liar yang ada disekitaran tanaman. Wajah separuh baya tampil di rerimbunan daun. Bercaping untuk menangkis sengatan sinar matahari.
"Wonten nopo, mas?"
"Bade tanglet, bu. Pantai Kalimirah niku arah e pundi nggih?"
"Mase saking pundi?"
"Kulo saking Solo"
"Oooo, mase Solo"
ketiga perempuan itu bergantian memberi petunjuk serta menguatkan agar saya paham dengan keterangan mereka.
"Maturnuwun, bu..."
"Ngatos-atos, mas"
"Oo... nggih"
"Saking mriki mase lurus-Notok-mangke menggok tengen. Pun, lurus mawon"
"O inggih, pak", balasku.
Kembali pada posisi semula. Jalan makadam memanjang mengular. Beberapa petak tanaman akan kita jumpai sepanjang arah. Ciri khas tanaman peladangan disini adalah kacang tanah, jagung, ketela pohon.
Setelah 2 jam lebih beberapa menit diatas motor-usai melahap tanjakan terakhir-sampai juga pada tujuan. Horizon menjadi pemandangan awal. Dari jauh laut sudah terlihat. Biru langit dan biru laut menciptakan garis batas. Jalan makadam berakhir. Disuguhi kebuntuan, "ke mana masuknya?"
Posisi jalan menurun. Ah, nekat. Jalan gronjal memaksa saya berhati-hati. Sedikit kesulitan ketika memarkir motor di jalan menurun. Tampak dua motor teronggok ditutupi dedaunan.
"Pasti ini milik penduduk desa sekitar sini", bisikku.
Akhirnya berhasil juga motor saya letakkan berdekatan dengan milik mereka.
Betapa tidak, tiba-tiba bulu kuduk saya berdiri. Wah, berat nih. Pandangan mata saya edarkan keseluruh penjuru mata angin. Berdiam diri selonjor di bawah papan-terpahat PANTAI KALIMIRAH. Merinding belum juga surut. Kalau menurut suara hati, pasti ada makhluk astral disekitar lokasiku. Bisa jadi mereka memperhatikanku. Komat kamit baca ayat kursi terus-terusan.