Permasalahan Hati Nurani & Akal Sehat
Alangkah memalukannya ketika penulis masih coba mengkritik tuntutan jaksa dan dasar hukuman yang berpotensi diberikan. Walaupun kritik itu datang di ikuti dengan teori-teori hukum yang relevan, megah, dan terkesan luas dalam memandang sebuah kejahatan yang terjadi. Penulis cuma kembali mengingatkan bahwa di balik setiap hukuman pasti akan ada dasar pertimbangan yang matang dan luwes, menjaga keadilan dan bertindak sebagai tangan kanan Tuhan menjadi tuntutan seorang hakim, dimana tidak semua orang bisa mendapatkan posisi tersebut.Â
Namun, menggunakan hati nurani sebagai salah satu parameter penilaian kepada seorang tersangka juga jangan selalu di anak-tirikan, bukankah kualitas putusan pengadilan berkorelasi dengan profesionalisme, kecerdasan moral, dan kepekaan nurani hakim?
Jika pertanyaan hati nurani dan akal sehat di taruh kepada terdakwa korupsi seperti Juliari, sebagai eks Menteri "sosial", pertanyaan paling mendasar yang akan muncul menjadi; Apakah pantas, ketika sebuah instansi negara yang mengurusi masalah sosial dengan bangganya melakukan acara silaturahmi dan makan malam di sebuah resort terkenal dan di tengah aturan pemerintah untuk melakukan pembatasan untuk berkumpul?
Apakah pantas Juliari dan rekan melakukan acara silaturahmi dan makan malam di sebuah resort di labuan bajo dan mengundang penyanyi dangdut Cita-citata, sementara pada hari yang sama tanggal 27 November 2020 ada 16.521 orang meninggal karena covid. Ada ribuan anak, istri, dan suami di Indonesia berkabung menahan tangis karena tidak dapat melihat pemakaman sanak-saudaranya?
Apakah pantas melakukan pemotongan fee, ditengah ribuan orang hilang mata pencaharian? wanita menjual diri hanya untuk makan, masuk ke selokan sempit untuk mencari paku untuk beli beras,memilih mati di tengah jalan karena menahan lapar dari pada menjadi maling?
Lalu seberapa pentingkah arti sebuah nyawa seorang koruptor dibandingkan 16.521 nyawa yang telah melayang?Â
Ya, tentu saja dari berbagai sudut pandang tidak akan ada yang membela nyawa seorang koruptor yang terbukti tertangkap tangan, jangan lupakan jika korupsi adalah bahaya laten dan di golongkan sebagai kejahatan transnational crime alias kejahatan lintas batas dimana mengharuskan semua negara saling bekerja sama untuk mengatasinya,Keadaan mejadi semakin parah ketika korupsi dilakukan pada saat negara dan masyarakat mengalami situasi darurat alias genting sebagaiman bencana Virus menular seperti Corona.
Menurut hemat penulis, selama sama-sama manusia dan tinggal di atap yang sama, hati nurani dan akal sehat akan selalu ada dan sama. Begitu juga jika di posisikan pada sang pemberi keputusan dan sang penerima keputusan. Kedua subjek pasti mempunyai hati nurani dan akal sehat untuk berperilaku secara manusiawi sebelum mengambil keputusan. Namun di negara ini, keadilan akan menjadi sangat manis dan bekerja dengan sangat baik hanya di dalam resonansi imajiner di setiap isi kepala orang yang sangat merindukannya.
Adagium cicero yang diserap menjadi asas hukum, lalu muncul cepat tapi latah ditambah masif karena situasi pandemi, seakan-akan menjadi raison d'etat alias semacam "alasan negara" untuk menghalalkan segala cara demi melindungi masyarakatnya, tapi sayangnya ketika perangkat-perangkat negara itu sendiri yang berubah menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat, siapa yang berani sikat dan bertanggung jawab? sudahlah, memang keadilan dalam tindak praktis akan selalu imajiner . -RIO
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI