Mohon tunggu...
Rio Rio
Rio Rio Mohon Tunggu... Administrasi - Hehehe

Words kill, words give life, They're either poison or fruits- You choose. Proverbs 18:21

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memahami Pertanyaan "Kapan Nikah" dengan Berbeda

27 Juni 2017   14:34 Diperbarui: 10 Agustus 2017   09:42 2585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hyur Queen || https://www.duniaku.net

Lebaran, Natal, ataupun hari besar keagamaan lainnya, memang menjadi momen paling ditunggu setiap orang untuk bertemu dan bercengkrama pada semua sanak saudara. Tetapi, bagi beberapa pemuda dan wanita lajang seperti saya, ada satu permasalahaan mendasar yang menggangu mereka, yaitu ketika ditanya "Kapan Nikah?" dengan sanak saudara yang dikunjungi.

Dalam presfektif yang berbeda, pertanyaan itu merupakan sebuah pukulan bagi beberapa orang untuk keluar dari "Comfort Zone"atau Zona nyaman. Berdasarkan Dictionary Cambridge, Comfort Zone sediri diartikan sebagai" a situation in which you feel comfortable and in which your ability and determination are not being tested. 

Jika diterjemahkan secara bebas dapat diartikan sebagai sebagai keadaan dimana seseorang merasa nyaman / betah akibat kemampuan dan tekadnya tidak diuji.

Lantas, melalui pengertian itu, bagaimana hubungan antara comfort zone dan pertanyaan "Kapan Nikah?" yang terjadi di sekeliling kita. Menikah memang menjadi permasalahan yang tidak dapat dilihat dari sudut pandang saja, tetapi juga dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. 

Dalam kehidupan yang post-modern saat ini, seseorang dapat menolak menikah dengan menggunakan berbagai macam alasan dengan argumen yang seolah olah menyatakan bahwa dirinya adalah benar, padahal hal itu merupakan salah satu bentuk keegoisan didalam diri seseorang yang belum berani melompat dari comfort Zone. Beberapa contoh comfort zone yang sering dijadikan alasan pembenaraan, seperti:

Karir yang melejit

Mempunyai karir yang baik di umur yang masih muda, merupakan hal yang sangat diimpikan setiap orang. dengan penghasilan pasti tiap bulannya, tanpa ada tanggungan pada keluarga, menjadikan seseorang dapat sangat mudah untuk berbuat sesukanya. Siapa yang tidak bahagia, jika dapat membeli setiap barang yang diinginkan, tanpa harus memikirkan kebutuhan orang lain?

Keadaan ini seakan merupakan mimpi setiap orang, mereka yang sukses dalam karir terlebih dalam usia muda, cenderung ingin terus membuktikan pencapaiannya kepada lingkungan sekitar seperti yang terkangkum dalam artikel Anak Muda harus Sombong Dong! Akibatnya, kondisi itu menjadi Comfort Zone bagi sebagaian orang.

Pola Asuh

Pola asuh yang terlalu memanjakan anak, selalu menuruti kemauannya tanpa bisa menolak, adalah salah satu alasan mengapa seseorang dapat sangat terganggu dengan pertanyaan yag menyangkut pernikahan. Pribadinya tumbuh menjadi orang yang berusaha memproteksi setiap hal yang dianggap sesuai keinginannya dan berusaha menjauhkan masalah yang mendekat, hasilnya Ia menjadi seseorang yang tidak terbiasa ataupun takut untuk mengambil keputusan yang besar seperti pernikahan. Karakter ini sering didefiniskan dengan menggunakan istilah manja.

Tetapi dalam beberapa hal, Comfort Zone seperti yang dijelasakan di atas juga tidak dapat selalu dijadikan alasan bagi seseorang untuk menangkis pertanyaan tentang pernikahan. Kewajiban menikah kadang juga terbentur dengan permasalahan teknis yang kadang tidak dimengerti oleh orang lain seperti, adat istiadat sebuah budaya.

Budaya Timur yang kita anut, dan heterogenitas suku yang berada di Indonesia memang menjadi salah satu penyebab malasnya orang menjawaba pertanyaan tetang pernikahan itu. salah satu contoh paling mencolok adalah garis keturunan Partilineal (Garis Keturunan Ayah) yang diadopsi oleh Masyarkat Batak. 

Pernikahan masyarakat batak, yang memerlukan biaya tidak sedikit kadang menjadikan orang menutup diri untuk menjawab pertanyaan tentang pernikah itu. karena sangat disadari bahwa pernikahan adat membutuhkan biaya ekstra, karena harus memenuhi kewajiban dan kondisi tertentu dalam merayakan sebuah pesta. 

Keadaan ini akan menjadi permasalahan serius bagi para pasangan yang hanya bekerja dengan penghasilan di bawah rata-rata, karena mereka dituntut memutar otak dengan cepat agar mendapatkan tambahan biaya untuk menikah. Akhirnya sebagaian orang yang terikat adat ini, menjadi enggan untuk memikirkan rencana pernikahnya kedepan.

Kita sama sekali tidak dapat menghindari pertanyaan tersebut, ada ataupun tidak adanya hari besar tiap agama, pertanyaan itu tetap akan terus muncul, umumnya dari orang-orang yang memang kita kenal tapi jarang bertemu. Jadi, selain sebagai motivasi, pertanyaan tentang pernikahan harus dilihat sebagai harapan, ataupun doa yang ditujukan kepada kita, begitu juga setelah menikah nanti, pertanyaan sejenis pun akan muncul ditengah-tengah rumah tangga kita seperti "Kapan Punya Anak", "Gak pengen nambah Anak", "Kok anaknya banyak", sampai dengan pertanyaan pamungkas "Kapan Punya cucu".

Setiap orang tua maupun keluarga, selalu megharapkan keadaan yang terbaik untuk kita, bukan karena mereka kepo, ataupun SKSD, tetapi di balik itu kadang mereka mencoba meluruskan kembali tentang pentingya kodrat manusia untuk hidup berpasang-pasangan, yang selama ini mungkin terkesan dilupakan karena dilindas kehidupan dan pemikiran yang terlampau modern.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun