Dalam pidato pembukaan pada acara peringatan Konfrensi Asia Afrika (KAA) tahun 2017, Presiden Joko Widodo mengajak para pemimpin dunia untuk menghormati keberagaman dan kemajemukan. Hal ini didasari atas kunjungan presiden ke Negara-negara maju di dunia yang menyampaikan kekhawatiran stabilitas politik dalam negeri pada isu radikalisme, terorisme, dan isu pemecah persatuan lainnya. Untuk itu Negara-negara maju saat ini melihat Indonesia lebih sebagai "referensi" dalam mengelola keberagaman budaya dan suku dalam suatu kawasan.
Pidato singkat president seakan memberi pesan yang cukup padat dan tegas, bahwa menjaga keberagamaan merupakan hal yang sangat penting bagi Negara-negara berkembang di benua Afrika dan Asia. Tetapi jika diinterpretasikan lebih luas, pesan tersebut juga bukan hanya ditujukan pada pemimpin Negara-negara anggota KAA saja, tetapi juga dapat dipahami secara luas bagi setiap pemimpin golongan yang berada di Indonesia. Terlebih dalam berapa bulan ini, Ibu kota Indonesia menjadi “war zone” dengan peluru SARA dan senjata Politik yang digunakan oleh segelintir oknum.
Isu SARA yang menyerang Indonesia akhir-akhir ini tidak dapat dilepaskan dari pagelaran pemilihan gubernur Ibu kota yang terus dipolitisasi. Apalagi fakta yang dibutuhkan untuk membuktikan politisasi melalui agama merajalela di Ibu Kota? Sementara kita dengan saat mudah mencari bukti-bukti yang valid dari surat kabar dan dunia maya.
Prinsip Bhineka Tunggal Ika dicederai oleh segelintir kelompok yang mengatasnamakan kepercayaan tertentu, untuk mencari kebenaran hakiki yang cenderung gagal dipahami secara sempurna, beruntung para pendiri Negara ini sudah jauh hari memikirkan potensi masalah yang akan terjadi kedepan jika merawat 1.300 suku dan berbagai macam kepercayaan dalam sebuah territori.
Penjelasam presiden dalam pidatonya sebelum H-1 pilkada Jakarta, memang dirasa tidak berkaitan secara langsung, tetapi setidaknya penjabaran konsep dalam pidato president tersebut dapat kembali mengingatkan tentang pentingnya menjaga keberagaman dalam lingkup politik. Terlebih adanya isu gerakan Tamasya Almaidah yang berbau SARA.
Tamasya Almaidah merupakan gerakan aksi untuk mengawal proses pencoblosan hingga perhitungan suara dengan cara mengerahkan massa dari luar Jakarta. Gerakan ini akan sangat mempengaruhi keamanan dan ketertiban dalam pesta demokrasi di Ibu kota, dilain sisi gerakan ini juga dianalisa sebagai gerakan intimidasi bagi para pemilih yang datang ketempat pencoblosan esok hari. Dengan meilhat tujuannya, gerakan aksi ini akan mencederai pesta demokrasi dan keberagaman yang ada di Indonesia, karena cenderung menekankan kebenaran dari presfektif kepercayaan tertentu dari sebuah golongan. Dengan hal seperti ini, maka ruang bagi golongan lainnya kembali ditekan dan dipersempit, padahal hak setiap warga Negara sudah di jamin oleh pemerintah.
Tamasya Almaiydah lebih dilihat sebagai konsep gerakan intimidasi konvensional yang dibalut dengan kepercayaan tertentu lalu ditaburi bumbu politik. Karena tujuannya terlalu kental pada isu politik, dan bukan pada agama semata. Gerakan seperti ini menjadi bibit yang sangat berbahaya bagi tunas-tunas garuda kedepan, karena akan menciptakan logika berpikir yang sempit tanpa memandang keberagamaan sebagai suatu keuntungan. Sehingga penerapan konsep bhineka tunggal ika yang hakiki, hanya dimaknai sebagai simbol yang berada di bawah cengkraman kaki Sang garuda tanpa harus dimengerti dasar-dasar terbentuknya.
Marilah kembali ke kodrat, begitu kira-kira saya menginterpretasikan isi dari pidato presiden. Dengan kembali mengakui kodrat bangsa ini, maka kita akan kembali menerapkan semangat dalam konsep Bhineka Tunggal Ika yang dicengkram erat di bawah kaki Garuda. Sehingga semangat persatuan dalam negeri ini, juga dapat ditiru dalam hubungan kerjasama antara Negara-negara di Asia – Afrika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H