Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Pengalaman "Live In" di Panti Jompo

3 November 2021   20:19 Diperbarui: 5 November 2021   05:59 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Kakek-Nenek yang tinggal di Panti Jompo. (sumber: pixabay.com/David Peixoto)

Mahasiswa sekarang mengenalnya dengan KKN-Kuliah Kerja Nyata. Tapi kami, di sebuah lembaga pendidikan khusus, lebih menyebutnya live in. Kata ini merujuk pada suatu kesempatan yang diberikan kepada mahasiswa untuk mengisi libur semesternya dengan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, kerennya kala itu, lebih option for the poor. 

Kami dibagi dalam kelompok, berdua-dua untuk berada, bekerja, dan tinggal bersama dengan kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara sosial. 

Misalnya, tinggal dan hidup bersama kelompok pengamen di daerah Manggarai (Jakarta), hidup di daerah yang kumuh, dan tinggal bersama anak-anak panti asuhan.

Saya berkesempatan live in di sebuah panti jompo di Rempoa, bilangan Ciputat. Penghuninya laki-laki dan perempuan. Kamar tidur masing-masing. Saya tinggal selama sebulan bersama mereka, termasuk para pengasuh. Saya beraktivitas bersama mereka, mulai dari pagi hingga malam.

Aturan panti jompo, hampir mirip aturan hidup di sebuah asrama pada umumnya. Bangun pagi pukul 05.30. Dilanjutkan dengan ibadat atau kegiatan rohani lainnya sebelum sarapan pagi. 

Aktivitas seperti membersihkan kamar sendiri dilakukan setelah sarapan pagi. Bagi yang bisa beraktivitas atau kerja tangan diperkenankan untuk menyiram bunga dan menyapu halaman/koridor.

Di hari-hari tertentu ada jadwal kelas mini, biasanya materi tentang spiritualitas hidup, kesehatan dan psikogeriatri. Kisah-kisah kehidupan masa lalu, dengan keluarga dibagikan. 

Di kelas ini pun saat yang pas untuk mereka mengungkapkan perasaan sebagai penghuni panti. Ada depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan tidur dikisahkan secara jujur. Airmata acapkali terselip di antara kisah-kisah itu.

Saya sungguh memahami perasaan mereka. Tugas saya adalah mendengarkan. Sesekali menguatkan mereka. Jangan sesekali mendominasi pembicaraan atau memprotes, mereka tak segan bentak dan marah. Makhlum saja, psikologis kaum lansia.

Setiap sore hari setelah tidur siang, saya menemani aktivitas mereka. Beberapa orang Ada yang duduk santai di kursi depan kamar. Beberapa sambil membaca koran/buku. Ada juga yang suka menggosip.

Dan, di luar pikiran saya sebelumnya, ada yang saling jatuh cinta. Mereka saling mengungkapkan rasa. Ini seronok, saya rajin pasang telinga. 

Sebagai pendamping, kesempatan ini biasanya saya gunakan bermain gitar, mengajak mereka bernyanyi bersama, tentang kasih dan cinta. Ini cara untuk mengalihkan agar jangan sampai ada kesempatan mereka berpacaran.

Setelah sebulan, masa live in saya pun berakhir. Kami saling berpisah. Kami saling melupa. Namun kesan-kesan itu tetap membekas hingga kini. 

Dan, ketika viral sebuah foto di media sosial berisi surat pernyataan tiga orang anak yang menitipkan orangtuanya ke panti jompo, saya pun kembali mengingat kebersamaan kami di Rempoa.

Bagi saya, keberadaan panti jompo tergantung cara kita memandang. Rumah jompo bukan tempat titipan, juga bukan "pembuangan". Bagi saya, panti jompo adalah sekolah berasrama bagi lanjut usia. 

Saya yakin, manajemen panti jompo sekarang jauh lebih modern, elegan, dan manusiawi. Maka, atas alasan tertentu, "menyekolahkan" orangtua di panti jompo adalah pilihan tepat. Toh, daripada orangtua dibiarkan di rumah dengan kondisi tak terurus secara layak?

Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun