Selalu terselip berkat dalam setiap keterbatasan. Sebagai seorang bocah kampung di era 90-an di pedalaman Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) rasanya sulit mendapatkan buku-buku bacaan anak-anak seusia kami. Kala itu, infrastruktur jalan masih pakai jalan kaki ke kota sejauh puluhan kilometer. Sarana listrik masih mengandalkan lampu pelita, dengan bahan bakar minyak tanah. Kadang persediaan minyak tanah habis, maka kami menggunakan minyak jarak. Â
Kami tak putus asa. Kami bahagia belajar malam bersama. Kami mengerjakan PR dalam kelompok. Sangat jarang kami belajar mandiri.Â
Saat-saat menjelang ujian EBTANAS (sekarang UN), kami berpayah-payah belajar. Kami mengelilingi pelita. Secercah cahayanya sudah cukup untuk kami belajar dalam sistem tanya-jawab. Kami gembira, meski esok hari lubang dan bulu hidung kami hitam memekat akibat asap pelita.
Kala itu, kami tidak pernah memiliki buku bacaan anak-anak. Buku saja tidak ada, apalagi perpustakaan sekolah, apalagi taman baca. Sangat mustahil.Â
Buku paket pelajaran pun hanya sedikit dimiliki. Itu pun selalu diperingatkan bagi yang meminjam. Ada cap basah "Buku ini Milik Negara Tidak Diperdagangkan." Makanya, mau ambil untuk baca saja kami takut.
Saya bersyukur dalam keterbatasan-keterbatasan itu. Pada dinding rumah kami yang terbuat dari anyaman bambu itu saya mulai mengenal bacaan dari koran.Â
Koran-koran itu diperoleh dari ibukota. Ayah saya rajin membaca koran meski beritanya sudah daluarsa. Setelah dibaca, koran-koran itu tidak dibuang.
Ibu membentangkannya. Ia membuat lem dari tepung tapioka. Lalu, menempelkan koran-koran itu pada dinding hanya bagian dalam rumah.Â
Dengan harapan, pada celah-celah itu angin malam tidak masuk sembarangan. Biar kami tidak kedinginan. Jadilah, koran-koran itu untuk menjaga tidur malam kami agar lebih nyenyak.