Lambat-laun, beberapa jenak saya memandang diam. Saya membaca. Saya menandai kata-kata yang asing di telinga. Pada nama-nama tokoh terkenal saya menggarisbawahi.
Makanya saya sudah menghafat nama-nama Menteri Kabinet erah orde baru. Nama BJ Habibie saya ingat betul dengan segala kelengkapan gelarnya.Â
Dan, saya sangat mengingat dengan baik nama Frans Seda sebagai Menteri zaman Soeharto. Hal ini atas dasar ikatan emosional sebagai asli orang Flores-NTT.
Ini bukan sebuah kebanggaan bahwa saya sudah terbiasa membaca koran sejak seusia sekolah dasar. Jauh dari lubuk hati, ada kerisauhan melihat generasi kini yang jarang memanfaatkan waktu luang untuk membaca buku.Â
Bisa jadi dengan alasan zaman digital. Buku pun digital. Membaca buku dalam genggaman tangan. Semoga kerisauhan saya berlebihan.
Namun, mari kita perhatikan. Litbang Kompas mengatakan, sebanyak 85 persen dari 34 Propinsi mencatatkan skor rendah dalam Dimensi Aktivitas Literasi Membaca, yaitu dimensi yang menyoal kebiasaan membaca, minat mengunjungi perpustakaan, dan pemanfaatan taman bacaan (Kompas.id, 20/5/2021). Ketersediaan taman bacaan masyarakat (TBM) dan Pustaka Bergerak pun belum menjamin minat baca tinggi.
Dalam kategori jumlah TBM terbanyak, NTT berada di urutan ke-5 dengan 300 buah TBM dan 413 pustaka bergerak. Namun, predikat ini belum menyumbang tingkat aktivitas literasi membaca. NTT cukup puas diri di posisi 4 dari ujung ekor skor 21,92 berpredikat rendah.
Akhirnya, sejak dini kami mengajak anak untuk gemar membaca. Usianya baru tiga tahun. Ia bergabung dengan teman-temannya pada Rumah Baca Sukacita-Ende. Selain mengasah kecerdasan, membacakan cerita turut memupuk kepedulian anak akan tokoh dan alur kisah dalam cerita.
Mari, mengajak anak membaca buku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H