Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Merayakan" Bencana

30 April 2021   12:38 Diperbarui: 30 April 2021   12:40 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di NTT beberapa waktu lalu. Foto: DetikNews.

Hanya ada tiga penyebab kematian manusia: peperangan, penyakit, dan bencana. Dan, akhir-akhir ini, bencana datang saling berganti. Entah karena murni alam atau kelalaian manusiawi. Tidak sedikit nyawa menjadi korban dan hilang. Kehilangan harta-benda pun tak terhitung lagi nilainya.

Perasaan kemanusiaan kita tergugah, tanpa sekat ruang dan waktu. Dunia maya adalah rumah duka bersama. Tagar "Pray for..." menggema. Ucapan "selamat jalan" saling bersua. Ungkapan "turut berduka" diudar.

Puisi-puisi pun tercipta, dengan lirik-lirik penuh lirih. Mengajak hati seakan meluruh. Doa, dari berbagai agama ditulis dengan berbagai bentuk, pada status atau komentar.  Jika, memang sedang malas ketik, cukup dengan 'RIP'.

Pihak berwenang datang menyapa, untuk bertemu muka dengan keluarga yang berduka. Penghiburan, yang pertama dilakukan. Selanjutnya, menawarkan solusi, bantuan, dan jaminan hidup di hari-hari mendatang.

Sementara, di ruang maya dan pojok-pojok lampu merah diadakan penggalangan dana. Bencana menguatkan solidaritas. Kita bersetia kawan dengan sesama yang kehilangan sanak saudara. Seribu-dua ribu kita kumpulkan untuk membangun rumah yang hancur. Sehelai pakaian dibagikan untuk sesama yang kehilangan sandang.

Lalu, pihak berwenang membuat agenda. Tak lupa dengan mengajak keluarga. Mulai dari penaburan karangan bunga di lokasi bencana-di laut atau di darat. Diiringi doa yang dipanjatkan dalam munajat-munajat keheningan duka.

Pihak berwenang mengajak masyarakat melakukan upacara tolak bala sesuai adat dan budaya setempat. Jika ketersediaan anggaran, dibangunlah semacam tugu/monumen peringatan, di atas lahan kuburan massal. Atau, jika terjadi di laut, dibuatkan museum khusus. Di situ, ditulis: sebagai kenangan akan bencana ini dan itu.

Begitulah kita "merayakan" bencana. Saya memberikan tanda petik dua pada kata "merayakan". Sebab, acapkali digunakan pada momen kegembiraan. Kematian akibat bencana bukanlah saat bertawa-ria.

Tapi, saya memaksakan kata ini dipakai dalam tulisan ini untuk menggambarkan, bahwa dalam setiap kejadian hidup, baik itu yang membawa suka cita maupun duka cita, entah yang menggembirakan atau menyedihkan, kita pun (secara sadar/tidak) sedang merayakan setiap peristiwa kehidupan.

Selalu ada berkat dalam setiap kejadian. Dalam konteks bencana, kita sedang merayakan empat makna. Pertama, bencana selalu merekatkan kohesi sosial. Sinergisitas sebagai bangsa ditingkatkan. Gotong royong semakin diwujudkan. Ini tak terbantahkan.

Kedua, sebagai orang beragama, kematian akibat bencana alam membangunkan kadar keimanan. Saya takjub, seorang teman yang selama ini tidak pernah pergi ke gereja setiap Minggu, tiba-tiba menuliskan doa, dengan kata-kata indah untuk korban bencana dan keluarga yang ditinggalkan. Meski, saya tahu indikator keimanan bukan hanya kata-kata, tetapi, paling sedikit, ia sejenak mengingat, ada Tuhan yang mengatur keseimbangan hidup ini. Mengakui Tuhan berarti mengakui nilai-nilai kemanusiaan universal.

Ketiga, bencana alam diupayakan berdampak perbaikan perilaku terhadap alam. Kepekaan ekologis mesti diindahkan. Ekosistem alam semakin dijaga. Minimal, cukup sudah buang sampah di sembarang tempat-apalagi di laut.

Keempat, ini terakhir, kesampingkan alam sebagai penyebab. Utamakan evaluasi di setiap garis lini. Seperti dalam tenggelamnya KRI Nanggala-402, mungkinkah identifikasi dan investigas dilakukan. Bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi menemukan solusi yang tepat demi bangsa yang kuat dengan alutsista yang andal. Jangan sampai, anggaran pertahanan terus naik tak sebanding dengan persenjataan yang tambal sulam.

Mari, kita "merayakan" bencana hingga mengamalkan empat makna di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun