Hidup kita sudah ada yang mengaturnya. Ia berjalan dengan sendirinya. Ia mengalir dalam sebuah sistemnya. Ia berputar dalam siklusnya. Ia konsisten bergerak dalam rodanya.
Siapa yang mengatur roda kehidupan ini? Semua orang tak pernah tahu pasti. Ilmu pengatahuan hanya menjawab secara samar-samar.Â
Agama mengatakan, yang mengatur kehidupan adalah Zat Tertinggi, Yang Ilahi dan Yang Transendental. Filsafat pun hanya menawarkan jawaban-jawaban dari berbagai pendapat.
Kembali lagi, siapa yang mengatur kehidupan ini. Filsafat sepakat, pokoknya tidak penting mencari tahu sesuatu/sesosok penyebab dari semua yang terjadi dalam kehidupan ini. Pokoknya hidup ini sudah ada yang mengaturnya. Titik.
Memaknai Kehidupan
Selebihnya, kita disuruh memaknai tiap-tiap peristiwa. Kita diminta mencari pesan terdalam dari setiap kejadian. Kita diajak menemukan dan merenungkan dimensi lain dari setiap kisah.Â
Hanya cara inilah, kita dapat memahami eksistensi yang mengatur kehidupan ini. Sebab, hidup yang tak bisa dimaknai adalah hidup yang tak pantas untuk dihidupi (Sokrates; 470-399 SM).
Misalnya, ketika kita mengalami sakit dan mati. Kita memaknai dengan akal sehat, bahwa sakit, penyakit dan kematian hanyalah cara kehidupan menemukan titik keseimbangannya. Hidup manusia setiap hari senantiasa menuju keseimbangan. Titik seimbang adalah kesempurnaan.
Kita berjalan di jalan berdebu. Mungkin kita tidak memakai masker. Debu masuk ke hidung menuju paru-paru. Lalu, kita terbatuk-batuk. Itu artinya tubuh sedang mencari keseimbangan.Â
Batuk sebagai cara bagian tubuh kita (paru-paru) tidak mau menerima debu dan kotoran menempelnya. Cara terbaik, jika melintasi jalan berdebu, gunakan masker.