Namun, agar layak diberikan predikat artis yang sesungguhnya, kritikus mampu obyektif. Kritikus melihat obyek, fakta dan data sebagaimana adanya. Sejak 1864, seorang Pengajar Oxford Chair of Poetry  Matthew Arnold, dalam "Fungsi Kritik di Masa Sekarang" (Richard Ellmann, Ed., 1969) mengingatkan tujuan kritik, yakni melihat obyek sebagaimana adanya.
Walter Petter pun mengingatkan kita. Dalam Pengantar Studi Sejarah Renaissance, ia mengatakan, langkah pertama untuk melihat tujuan kritik seseorang sebagaimana adanya, adalah mengetahui kesan seseorang sebagaimana adanya. Kritikus fokus pada obyek dengan melibatkan semua pengindraan. Kritik menjauhi sensasi rasa. Tanpa peduli kepentingan diri mungkin saja dikorbankan. Kritik menuntut observasi data, bukan kata dan perasaan.
Kritikus dapat lebih kreatif bila dilontarkan dengan sajian data yang akurat. Ekspresi kepedulian lebih lengkap bila ditunjang fakta.
Kritik dari Jiwa yang Peduli
Akhirnya, kritik tertinggi dalah catatan-catatan jiwa-jiwa yang peduli. Baik pekritik maupun penerima kritik sama-sama memiliki sikap peduli. Presiden Joko Widodo peduli akan pelayanan dan sistem birokrasi yang berbelit. Makanya, ia membutuhkan kritik disertai solusi. Diharapkan, publik yang mengkritik pun memiliki jiwa yang sama. Batasan kritik adalah jiwa yang peduli.
Dan catatan jiwa yang peduli ditemukan dalam evaluasi diri yang intim. Masuk ke dalam diri (evaluasi), terlibat di dalam sistem agar memastikan keadaan yang sebenarnya, didukung data dan fakta. Yakin saja, solusi-solusi kreatif mengalir dari jiwa yang peduli. Selebihnya, komitmen yang kuat untuk mengeksekusinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI