Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Cinta Itu Proses, Menikah Itu Komitmen

6 Februari 2021   12:01 Diperbarui: 6 Februari 2021   15:47 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Saya tidak mungkin menaruh benih pada rahim perempuan yang tidak saya cintai'

Ini kata-kata dari yang tercecer. Saya lupa, saya memungutnya di tempat mana. Hanya saja, saya tahu, ketika hati belum berpaut, pikiran belum sama persis, kata belum sempat sejalan, dan raga belum seirama.

Kami akhirnya terpaksa sepakat, saat senja belum beranjak, dengan gumpalan-gumpalan awan menghitam di angkasa. Rintik hujan tertahan sempurna. Dentum guntur menderu, mengguncang bumi. Petir engan bepercik di atas tanah yang pedih.

Seucap kata mendera, "saya tidak mungkin menaruh benih pada rahim perempuan yang tidak saya cinta". 

Kau diam. Kata-katamu tertahan di rongga dada yang patah. Kau menunduk pilu.  Lama membisu. Hingga semburat senja merayu. Kau berlalu tanpa mengadu. Kita berakhir.

"Cinta itu menyatukan perbedaan, sayang", pesanmu mengalir dalam Messenger. "Saya tahu, pikiran kita kadang sulit sejalan, dan kata kita belum sepaham. Tapi, di dalam raga ini, ada cinta yang menyatukan perbedaan di antara kita. Nikahkan saya dengan komitmen. Sebab, cinta itu proses, Kaka".

Saya bermaklum. Kau menulis dengan jiwa yang retak, hati yang hancur, bahkan berkeping-keping. Dengan tetap menggenggam harapan, agar cinta kembali menyatu.

Bagi saya, cinta itu abstrak, tidak nyata. Kecantikanmu transenden. Cinta yang menyatukan perbedaan itu seperti masturbasi kotor para borjuis, seperti onani Taman Lawang. Manis manja dalam rayuan kata, terbuai busuk dalam imbalan fulus.

Dan, bila cinta itu proses, maka akan berakhir antara kalah dan menang, gagal dan sukses, lalu memiliki atau berpisah.

Tetapi, ingatlah! Perpisahan ini bukan seperti lebah yang mengabaikan bunga setelah penyerbukan usai. Kau membawa keutuhan-keutuhanmu. Sambil kau tahu, cinta tidak harus memiliki.

***

Tak pernah saya mencari tahu, pada posisi lintang dan bujur mana kau berada. Kau menyimpan perpisahan itu dengan kehilangan-kehilangannya, dalam jarak yang beribu-ribu kilometer.

Hingga pagi ini, pesan mendarat di 'Wasap'-ku, "Kaka, esok saya menikah, dengan pria yang tidak saya cintai, tapi telah memberi saya benih, untuk dikandung, dan dilahirkan nanti.

Sambil berteluh. Benar katamu dulu, cinta itu proses, menikah itu komitmen. Kusemogakan, benih dalam rahimmu 'kan menguatkan komitmenmu, demi cintai yang sesungguh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun