'Saya tidak mungkin menaruh benih pada rahim perempuan yang tidak saya cintai'
Ini kata-kata dari yang tercecer. Saya lupa, saya memungutnya di tempat mana. Hanya saja, saya tahu, ketika hati belum berpaut, pikiran belum sama persis, kata belum sempat sejalan, dan raga belum seirama.
Kami akhirnya terpaksa sepakat, saat senja belum beranjak, dengan gumpalan-gumpalan awan menghitam di angkasa. Rintik hujan tertahan sempurna. Dentum guntur menderu, mengguncang bumi. Petir engan bepercik di atas tanah yang pedih.
Seucap kata mendera, "saya tidak mungkin menaruh benih pada rahim perempuan yang tidak saya cinta".Â
Kau diam. Kata-katamu tertahan di rongga dada yang patah. Kau menunduk pilu. Â Lama membisu. Hingga semburat senja merayu. Kau berlalu tanpa mengadu. Kita berakhir.
"Cinta itu menyatukan perbedaan, sayang", pesanmu mengalir dalam Messenger. "Saya tahu, pikiran kita kadang sulit sejalan, dan kata kita belum sepaham. Tapi, di dalam raga ini, ada cinta yang menyatukan perbedaan di antara kita. Nikahkan saya dengan komitmen. Sebab, cinta itu proses, Kaka".
Saya bermaklum. Kau menulis dengan jiwa yang retak, hati yang hancur, bahkan berkeping-keping. Dengan tetap menggenggam harapan, agar cinta kembali menyatu.
Bagi saya, cinta itu abstrak, tidak nyata. Kecantikanmu transenden. Cinta yang menyatukan perbedaan itu seperti masturbasi kotor para borjuis, seperti onani Taman Lawang. Manis manja dalam rayuan kata, terbuai busuk dalam imbalan fulus.
Dan, bila cinta itu proses, maka akan berakhir antara kalah dan menang, gagal dan sukses, lalu memiliki atau berpisah.
Tetapi, ingatlah! Perpisahan ini bukan seperti lebah yang mengabaikan bunga setelah penyerbukan usai. Kau membawa keutuhan-keutuhanmu. Sambil kau tahu, cinta tidak harus memiliki.