Secara umum, kata 'xenos' (Bahasa Yunani) berarti orang asing. Namun 'xenos'Â juga berarti tuan rumah dan tamu. Sejauh, baik tuan rumah maupun tamu terikat oleh aturan-aturan keterlibatan tertentu. Mereka terlibat dalam budaya keramahtamahan (xenia) di wilayah dipijak.
Ketidakterlibatan dan ketakterikatan dalam masyarakat dengan segala menaati aturan/hukumnya wilayah tersebut, maka menghasilkan label sosial yang disebut teman (philoi) dan musuh (ekthroi).
Teman (philoi) berarti sesama yang patuh tunduk terhadap aturan-aturan hukum, baik yang disepakati bersama maupun telah diatur. Sesama teman (philoi) menuntut keterlibatan atau partisipatif dalam Polis, komunitas kota/negara.
Sementara musuh (ekthroi) adalah berarti mereka yang mengabaikan seperangkat aturan hukum yang berlaku dalam sebuah komunitas, wilayah dan negara. Musuh (philoi) tidak terlibat dalam kehidupan masyarakat. Mereka, bahkan, tidak mengakui aturan yang disepakati. Mereka melanggar hukum dengan sengaja.
Perdebatan filsuf Thrasymakos versus Plato dan Sokrates menggeser makna 'xenos' (orang asing) sebagai musuh pribadi (ekhtros) dan musuh negara (polemios).
Misalnya, Thrasymakos disebut sebagai orang asing sebab mendefenisikan keadilan sebagai segala tindakan apapun demi kepentingan yang lebih kuat. Keadilan menuntut pembayaran. Dengan kata lain, kekuasaan yang mengatur soal keadilan.
Plato dan Sokrates meradang. Bagi Plato, keadilan adalah panggilan kecakapan, membatasi diri pada kekuasaan. Dan menurut Sokrates, keadilan melaksanakan peran independen, tanpa memedulikan kekuasaan.
Thrasymakos memusuhi Sokrates. Sokrates tetap menawarkan keramahan. Namun, ia tegas dalam prinsip. Meski tawaran keramahan Sokrates mengundang risiko dari tangan 'xenos' atau 'polemios'. Sokrates sabar dan hati-hati. Ia akhirnya mencapai kecakapan dialogis, filosofis, dan demokatis tentang keadilan. Dan Thrasymakos, menjadi 'xenos' yang bimbang (the indecidable foreigner).
Selanjutnya, Sokrates menegaskan, penjaga kota harus seperti anjing yang mampu membedakan teman dan musuh. Teman bisa saja sebagai orang asing, jika tidak terlibat dalam aturan-aturan bersama. Musuh sudah pasti tidak mau partisipasi dalam sebuah komunitas masyarakat.
Sokrates pun mengatakan, polis harus diikat bersama. Disatukan dengan rasa memiliki. Polis sebagai tempat bersama.
Dengan kata lain, jika karakter di atas terbangun dalam sebuah masyarakat/negara, maka tidak ada tuan rumah. Mungkin tidak ada tamu/orang asing. Sebab, kemurnian perbedaan tuan rumah dan tamu/orang asing hanya keterikatan dan kepatuhan pada aturan-aturan keterlibatan bersama, serta demi kesejahteraan sosial.
Cuitan Kristen Gray (KG), bule Amerika yang viral gegara menyakiti kepribadian tuan rumah (orang Indonesia) dan melanggar aturan keimigrasian RI sontak menghembus isu 'keistimewaan' orang asing/WNA untuk berkunjung/hidup di Tanah Air.
Akhirnya, beberapa catatan perlu disampaikan. Pertama, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Butuh kepatuhan terhadap norma yang berlaku di mana pun berada.
Kedua, pemerintah, terkhusus pihak keimigrasian RI harus bertindak seperti anjing yang galak. Hukum ditegakkan. Berani membedakan tuan rumah dan tamu/orang asing. Sekalipun, kadang-kadang, tuan rumah justru menjadi tamu/orang asing. Sebaliknya, tamu/orang asing menjadi tuan rumah yang sesungguhnya.
Ketiga, ketakadilan hukum cenderung menghasilkan narasi-narasi identitas. WNA yang merasa diri diistimewakan di Tanah Air, bisa jadi akibat dari praktik hukum yang korup.
Keempat, ini terakhir, keramahtamahan (xenia) adalah jembatan terkuat, yang menyatukan hubungan tuan rumah dan tamu/orang asing, sebelum kepatuhan, untuk secara bersama-sama menaati hukum, demi kebaikan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H