Food waste adalah masalah pemborosan makanan menjadi isu global yang hangat, terutama di tengah ancaman bencana kelaparan akibat krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.Â
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah memperingatkan ancaman kelaparan yang dipicu oleh pandemi ini. Kemungkinan sebanyak 132 juta orang akan mengalami kelaparan pada 2020. (KOMPAS, 17/10).
Presiden China Xi Jinping mendorong warganya untuk menghemat dan mengurangi pemborosan makanan. Langkah itu diambil sebagai solusi krisis pangan akibat deraan pandemi Covid-19. Bahkan, untuk memastikan rakyatnya mematuhi aturan ini, Xi menggerakkan "operasi piring bersih".
Indonesia belum nampak komitmen pemerintah untuk mengajak warga hemat akan makanan. Solusi food waste masih sebatas gagasan. Belum dieksekusikan dalam kebijakan nyata. Semisal, ada gerakan "piring bersih" seperti di China.
Padahal, posisi Indonesia dalam Indeks Ketahanan Pangan Global dan Indeks Kelaparan Global menempati pada level menengah ke bawah. Artinya, masih sangat rentan berdampak kelaparan, akibat masih belum kokohnya ketahanan pangan. Hal ini diperparah dengan tingkat pemborosan makanan yang memprihatinkan.
Data Kementan 2018 (sebagaimana Kompas 22/11/2020) menunjukkan, Indonesia termasuk negara pembuang sampah makanan (food waste) urutan dua di dunia. Total sampah makanan 1,6 ton yang terbuang, dari total produksi pangan 290,8 juta ton. Sampah makanan per kapita dalam setahun rata-rata 6 kilogram.
Sampah makanan terdiri dari beras, sayur, buah, ikan, daging, telur, tempe/tahu, susu, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan lain-lain (makanan ringan).
Dalam tingkat lokal, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) memang belum memiliki data sampah makanan. Akan tetapi, tidak berarti warga NTT tidak melakukan pemborosan makanan. Justru sampah makanan banyak ditemukan. Makanya, ada istilah 'mata lebih besar daripada perut'.
Istilah ini artinya, kadang-kadang kita tergoda oleh pandangan mata yang melihat sajian menu makanan yang enak di atas meja tanpa mempertimbangkan kesediaan perut. Naluri mata lebih kuat daripada daya tampung perut. Inilah sebabnya, makanan yang diambil tidak disantap sampai piring bersih.
Untungnya, di NTT makanan sisa tidak dibuang sia-sia. Makanan sisa dari rumah tangga ditampung dalam ember. Kemudian diberikan sebagai makanan babi.
Seperti yang dilakukan Mama Maria Yustina Wonga (60), seorang ibu rumah tangga di Kelurahan Kota Ratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, NTT. Ia memelihara dua ekor babi, di kandang samping rumahnya. Ia tidak membutuhkan pakan toko.Â
Setiap dua hari sekali ia mengambil makanan sisa dari tetangganya. Sehari bisa enam ember seukuran ember putih Cat Altex. Lumayan, sebagai makanan babi untuk dua hari.
Pada musim pesta/hajatan kini, persediaan makanan sisa dari tetangga melimpah. Mama Maria keterbatasan wadah penampung makanan sisa. Sehingga, babi terlihat lebih gemuk karena porsi makan lebih banyak dari sebelumnya.
Kisah yang sama dilakukan oleh Bapak Damas (50), warga Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah, Ende. Ia memelihara lima ekor babi. Setiap hari ia mengambil makanan sisa dari beberapa rumah makan yang sudah bekerja sama. Kurang lebih lima ember untuk persediaan makanan babi sehari.
Di tengah pendemi Covid-19 ini, ketika rumah makan sepi pengunjung, Bapak Damas menadah sampah-sampah sayur dan buah di pasar tradisional di kota Ende. Sehari bisa dengan 2-3 karung.
Tidaklah heran, populasi babi di NTT tertinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, populasinya sebesar 2,4 juta ekor, dari 8,9 juta ekor secara nasional.Â
Disusul Sumatera Utara dengan 1,2 juta ekor. Meskipun, produksi daging babi per tahun jauh lebih rendah dari Sumatera Utara dan Bali. Sumatera Utara 53,9 ribu ton, Bali 48,7 ribu ton, dan NTT 38,2 ribu ton.
Umumnya, di NTT sampah sisa makanan untuk babi. Sebuah keuntungan tersendiri jika bertetangga dengan warga non Kristen atau yang tidak memelihara babi. Sisa makanan dikumpulkan dan diambil. Namun, beberapa rumah makan melihat peluang sebagai 'hidden income'. Satu ember dipatok Rp 10.000.
Harga seekor babi di NTT bervariasi. Tergantung berat dan kesepakatan. Anak babi usia tiga bulan diganjar satu juta rupiah. Usia potong 6-8 bulan mencapai 4-6 juta rupiah. Harga ini seimbang jika Rp 80.000 per kilogram. Usia enam bulan bisa mencapai 75 kilogram.
Hasil pelihara babi dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Terutama pendidikan anak dan kebutuhan upacara adat/budaya.
Dengan demikian, warga NTT tidak 'berdosa' amat ketika makanan terbuang. Justru menjadi berkah bagi hewan ternak, seperti babi.Â
Namun, tetap menjadi sebuah perhatian serius, terutama di tengah krisis ekonomi akibat pandemi ini, sebagai bagian dari solidaritas kepada yang sesama yang lain, yang sedang mengalami kekurangan makanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H