Membaca biografi para tokoh dunia, saya menemukan banyak ilmuwan hebat. Mereka sangat pintar. Sebut saja, Nicolaus Copernicus-ahli matematika dan astronom asal Polandia, Rudolf Clausius-ahli fisika asal Jerman, Isaac Newton-ahli fisika asal Inggris, dan Leonardo da Vinci-penulis, pelukis sekaligus ahli geologi dan anatomi berkebangsaan Italia.
Selain itu, ada Thomas Alva Edison-penemu bola lampu pijar pada 1879, Alexander Graham Bell-penemu telepon pada 1876, Albert Einstein-seorang fisikawan yang mengembangkan teori relativitas, Stephen Hawking-seorang fisikawan Inggris yang baru saja meninggal pada 2018 lalu. Juga, Judit Polgar, seorang profesor cantik. Di usia 15 tahun sudah menyabet rekor profesor termuda.
Einstein, katanya, sebagai orang paling pintar sejagat-raya. Kemudian, Â kita memiliki orang yang paling pintar se-Indonesia, ialah B J Habibie. Ia menahkodai Riset dan Teknologi RI "berjilid-jilid" di bawah pemerintahan Orde Baru. Ia termasuk dalam 10 orang paling pintar di dunia.
Menurut laman iq-research.info, Indonesia menempati peringkat ke-20 dalam urutan negara dengan tingkat pendudukan paling pintar sedunia. Kita kalah jauh dengan Singapura, Korea Selatan dan Jepang yang menduduki peringkat 1 sampai 3.
Memang Badan Pusat Statistik (BPS) belum menghitung peringkat paling orang/masyarakat paling pintar se-nusantara berdasarkan Provinsi. Namun, indeks pembangunan manusia (IPM) paling tidak mendekati, ukuran provinsi paling pintar, jika mau diukur hanya melalui salah satu dimensi IPM yakni pengetahuan.
Data BPS 2019, IPM berada di level 71,92 secara nasional. Sementara Nusa Tenggara Timur di angka 65,23. Angka ini jauh dari rata-rata nasional. NTT menempati urutan ke-3 dari belakang.
Meskipun, secara statistik NTT dijuluki 'Nusa Terus Terbelakang', namun fenomena akhir-akhir ini mestinya dicatat segera oleh BPS. Banyak 'orang pintar' bermunculan. Sangat banyak. Bahkan tumbuh melalui kelompok/komunitas tertentu.
Dahulu, orang pintar mengacu pada keahlian pada bidang filsafat, matematika dan fisika. Sekarang, 'orang pintar' menunjuk pada keahlian 'menyembuhkan'. Mereka bukan teolog dan pemuka agama. Mereka bukan pula dokter atau tenaga medis lainnya. Mereka adalah orang biasa yang, katanya, bisa menyembuhkan seseorang dari sakit, penyakit dan masalah hidup lainnya.
Ada hal positif, berkat doa-doa 'orang pintar' hubungan pisah ranjang bisa kembali lengket bak lem. Diputus pacar bisa kembali CLBK (Cinta Lama Bertemu Kembali). Dompet yang hilang dapat ditemukan kembali. Rezeki yang pergi mampu diraih kembali. Anak yang pergi dari rumah tanpa pamit bisa datang lagi.
Hal lainya, di NTT, orang sakit umumnya diantar ke rumah sakit, juga dibawa ke 'orang pintar'. 'Orang pintar' akan melihat apa penyakitnya. Bahkan, 'orang pintar' tahu siapa pembawa penyakit/masalahnya. Begitu pula, saran-nasihat 'orang pintar' lebih didengarkan ketimbang khotbah pastor/pendeta di gereja.
Akhirnya, gegara ikut kata-kata 'orang pintar', kakak-adik kandung bisa saling curiga, saling tuduh, bahkan 'baku' (saling) bunuh. Jika demikian selanjutnya, NTT, sapa mo help?.
===
Istilah 'sapa mo help?' (siapa mau tolong?) sedang popular di NTT di kalangan kaum milenial dan generasi Z, sebagai ungkapan ketakberdayaan, putus asa dan ketakpedulian. Pertama kali muncul bersamaan dengan lagu 'Sapa Mo Help' oleh Ona Hetharua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H