Selamat memaknai HUT Kompasiana ke-12. Mohon dimaafkan bila tulisan ini hadir pada H+1. Bukan sengaja melupakan, namun saya tidak mampu membatalkan kesibukan-kesibukan kecil.Â
Lebih dari itu, saya pikir, ini kesempatan yang tampan, agar saya membagikan kebahagiaan besar, sekaligus sebagai pertanggungjawaban moral saya terhadap Kompasiana, K-ners, dan masyarakat luas.
Tekad untuk menulis sudah muncul sejak di bangku SMP. Berawal saya suka menulis puisi dan cerpen. Namun puisi-puisi itu kandas di meja redaksi mading (majalah dinding) sekolah.Â
Tak pernah sekali pun tulisan saya bertengger di sana. Justru, hati saya teramat sakit, suatu ketika, cerpen saya, tercabik-cabik di tong sampah, samping ruang redaksi.
Meski sakit hati hingga menamatkan bangku sekolah menengah, tekat untuk menulis itu tetap tertanam. Di bangku kuliah, gairah menulis itu tetap ada, meski terbentur waktu, antara kerja di siang hari dan kuliah di malam hari.
Tepat 19 Mei 2011 saya mendaftar dan menjadi bagian dari Kompasiana. Tahun-tahun awal saya cenderung menulis puisi dan cerpen. Sesekali catatan harian sebagai cara saya memaknai peristiwa-peristiwa dalam hidup saya. Saya baru mulai menulis pada 26 Mei 2011 tentang neolibealisme yang hanya 300 dibaca tanpa komen dan vote.
Senang bukan main ketika labet AU (dulu Headline) hinggap di tulisan saya dengan judul: Aku Petani, Aku Sarjana.
Hari-hari terus berlalu. Saya terus menulis. Saya tinggalkan puisi meski sesekali menghidupkan cerpen. Saya fokuskan pada catatan harian, sebagai cara saya menyampaikan keprihatinan dan kegelisahan saya, terutama terhadap kampung halaman saya di NTT.
Berkat Kasus Setya Novanto
Salah satu tulisan yang membekas, dengan/pada HUT Kompasiana inilah saya membagikan pengalaman itu, dengan judul: Memprihatinkan, Kondisi Bangunan Sekolah di Dapil Setya Novanto.Â