Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

PSBB, Budaya Literasi dan "Kepala Batu" Kita

18 September 2020   09:15 Diperbarui: 20 September 2020   05:21 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Literasi berasal dari kata Latin, 'literatus' yakni orang yang belajar. National Institute for Literacy menjelaskan, literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Mengapa PSBB kembali di berlakukan secara ketat?

Salah satunya, karena masyarakat kita tidak terbiasa dengan budaya literasi, termasuk kemampuan membaca.

Selebihnya, budaya literasi lisan, mesti ada orang yang suruh, baru kita ikut. Itu budaya literasi lisan.

Harusnya, membaca bukan sekedar untuk tahu, tetapi mampu memaknai pesan dari tulisan yang dibaca. Sudah tertulis jelas 'Wajib Pakai Masker' tetapi masih yang tidak menurutinya.

Tidak heran budaya literasi baca kita jauh sangat rendah. Di dunia kita berada pada urutan 60 dari 61 negara. Kita belum lebih baik dari Boswana.

Berhadapan dengan Covid-19 ini semakin menyingkap tabir literasi baca kita yang parah itu. Sementara, ditegur lisan, menggunakan megaphone oleh petugas pun jarang dipatuhi.

Maka, budaya literasi baca yang rendah melahirkan 'kepala batu' (keras kepala), sikap acuh tak acuh yang akut.

Pemerintah, melalui kebijakan PSBB secara ketat, sebenarnya sedang berdarah-darah (membuang tenaga dan biaya eksternal) mengatasi sikap 'kepala batu' masyarakat. Dibutuhkan kerendahan hati setiap individu untuk menghapus sikap 'kepala batu' seperti ini.

Pertama; mengakui bahwa di atas langit masih ada langit. Di atas kemampuan kita, ada orang lain (yang diberi kuasa) untuk mengatur dan melindungi kita. Dialah pemerintah.

Kedua; kesadaran dan kepekaan kita akan hubungan kita dengan sesama yang lain. Mencuci tangan, pakai masker dan jaga jarak adalah cara kita tidak menyebarkan Covid-19 kepada sesama kita yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun