Di bangku sekolah menengah, saya menghafat betul, apa itu iman?, dalam pelajaran Agama. Iman adalah penyerahan diri secara total (penuh) kepada Allah. Iman menuntut pengorbanan tanpa syarat. Paul Tillich (1886-1965), seorang Lutheran yang sering disebut 'apostle to the intellectuals' (rasul bagi kaum intelektual), mengatakan, iman adalah suatu keadaan ditangkap oleh 'kekuatan dirinya sendiri' dengan 'perhatian tanpa syarat' (2001:18). Kegiatan 'memberikan diri kepada sesuatu yang lebih besar' adalah jantung dari iman.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita ditangkap oleh sebuah kekuatan yang dahsyat (Allah), yang kemudian menuntut kita untuk memberikan diri sepenuhnya, percaya penuh akan-Nya. Iman memang menuntun perhatian utama kita terhadap sesuatu, bisa Tuhan (Allah), bisa jadi 'sesuatu' yang ideal.
Untuk memahami iman, saya coba mengantar kita pada kisah perumpamaan anak yang hilang (Luk 15:1-32). Anak bungsu digambarkan sebagai anak yang durhaka, meminta jatah warisan orangtua dan hidup berfoya-foya menghabiskan uang warisan. Si sulung bekerja dengan ayahnya dengan tekun. Si bungsu menyadari kesalahannya karena hidupnya terasa sangat sulit, maka ia kembali kepada ayahnya. Si sulung marah, karena sang ayah membuat pesta untuk si bungsu yang boros. Si ayah membujuknya, agar mau ikut pesta karena adiknya yang hilang itu.
Semua kita diundang dalam pesta syukur atas anak hilang, tidak hanya si bungsu yang boros dan si sulung yang iri hari. Kita diajak untuk terlibat dalam proyek besar keselamatan Allah. Allah dilukiskan sebagai ayah yang baik; membuat pesta dan yang mengajak anak sulung untuk ikut masuk dalam kegembiaran pesta itu. Di sini lah momen penting; apakah orang mau terlibat dalam proyek Allah? Apakah orang mau berpartisipasi dalam tindak kreatif Allah?
Pada dan dalam konteks inilah, mengimani Koperasi Kredit (Credit Union)-sebagai salah satu pilar ekonomi yang (masih) ideal itu ditempatkan. Credit Union berasal dari dua kata. Kata 'credere' (Latin: saling percaya) dan 'unio' (Latin: kumpulan). Jadi, Koperasi Kredit (Credit Union) adalah kumpulan orang-orang yang saling percaya. Di Indonesia, Credit Union diterjemahkan dengan Koperasi Kredit. (A.M. Lilik Agung, ed., 2013:2).
Kopdit (CU) dalam beberapa literatur dan pelaksanaannya, adalah koperasi simpan pinjam yang dijalankan secara demokratis dan profit sharing (bagi hasil). World Council of Credit Union (WOCCU) mendefenisikan Credit Union sebagai lembaga keuangan yang bukan mencari keuntungan (not for profit cooperative institutions). Core bisnis Kopdit (CU) adalah simpanan dan pinjaman. Mengutamakan simpanan, bukan pinjaman. Makanya UU Koperasi mencantumkan Kopdit (CU) sebagai jenis Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
Kopdit (CU) bisa menjalankan core bisnisnya hanya karena saling percaya (credere). Orang-orang saling percaya untuk menyimpan uang secara bersama-sama, dalam sebuah wadah (lembaga) yang dikelola secara bersama-sama dan dikontrol bersama melalui RA (Rapat Anggota), baik rapat anggota tahunan (RAT) atau rapat anggota khusus (RAK). Atas dasar saling percaya anggota menabung di Kopdit (CU) tanpa ragu, kemudian jika dibutuhkan, anggota meminjam dengan bunga sekecil mungkin.
Kopdit (CU) itu berdiri hanya rasa saling percaya. Tanpa saling percaya, Kopdit (CU) direduksi menjadi lembaga keuangan yang memendam rasa saling curiga, karena tata kelola yang tidak demokratis, kebijakan Pengurus yang cenderung otoriter, laporan keuangan yang tidak transparan dan setoran anggota yang tidak dibukukan tepat waktu.
Bukan hanya rasa saling percaya, tapi mengimani. Karena Yesus bilang, "Mari ikuti lah Aku!". Mengkuti berarti masuk ke dalam. Mengikuti berarti serahkan diri secara total (mengimani). Dan mengikuti, mengerahkan diri secara total serta mengimani Kopdit (CU) berarti keterlibatan. Keterlibatan dalam proyek keselamatan (ekonomis) anggota dan manusia pada umumnya. Sebab keterlibatan adalah akar dari saling percaya dan cinta. Mengimani Kopdit (CU) berarti sungguh-sungguh menjadi pengurus yang bijak, menjadi pengawas yang jujur, menjadi staf yang rajin dan menjadi anggota tidak curiga terus.
Tak bisa dipungkiri, seiring perjalanan waktu, saling percaya dan cinta terhadap Kopdit (CU) tergerus oleh sikap tidak mengimani (tidak terlibat) secara penuh dengan peran sudah diwenangkan masing-masing.
Ada contohnya. Pertama, ada pengurus yang hanya nama. Jarang hadir rapat, alasan sibuk. Apalagi disuruh turun ke kelompok masyarakat untuk sosialisasi/pendidikan anggota hampir tidak ada waktu. Padahal pengurus sudah dipilih oleh anggota yang saling percaya untuk mengurus Kopdit (CU).